Selasa, 22 Januari 2013

Tinjauan Teori Hukum Progresif terhadap Putusan yang Ultra Petita


I.                   Latar Belakang
Harry C. Bredemeier memandang bahwa tugas pengadilan adalah untuk membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dan gangguan terciptanya kerja sama. Untuk melaksanakan tugasnya itu, pengadilan membutuhkan tiga keadaan, atau di dalam istilah yang digunakan oleh Parsons dan koleganya, pengadilan bergantung pada tiga jenis masukan (input), masing-masing:[1]
  1. Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab akibat.
  2. Pengadilan membutuhkan suatu konsep dari apa yang oleh “pembagian kerja” adalah “for”; apa tujuan dari sistem-sistem yang ada, apa usaha negara untuk menciptakan atau mempertahankan pelaksanaan kekuasaan.
  3. Pengadilan membutuhkan suatu kemauan dari para pihak untuk menggunakan pengadilan sebagai mekanisme penyelesain konflik mereka.
Berbicara mengenai pengadilan dan putusan dari pengadilan kita tidak akan terlepas dari person yang mengisi organ-organ pengadilan yang merupakan bangunan ide dan gagasan dari hukum yang masih abstrak. Salah satu person yang dimaksud tidak lain adalah hakim yang mengisi bangunan ide dan gagasan yang abstrak dari hukum tadi.
Dalam Undang-Undang Dasar Rebublik Indonesia 1945 kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 24 Pasal 24A, 24B dan 24C pada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Perwujudan amanat ini dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pelaksanaan operasional kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kekuasaan yang dimaksud merupakan suatu kaidah yang berisi suatu hak, yaitu hak untuk menentukan hukum, sehingga dapat diartikan kekuasaan sebagai kaidah yang mengandung makna perkenaan atau kebolehan untuk bertindak. Sehubungan dengan kewenangan hakim yang dimiliki adalah termasuk di dalam menjatuhkan suatu putusan.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan (statement) yang dibuat oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di muka sidang dengan tujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak yang bersengketa. Selain diucapkan oleh hakim, hal ini juga harus dituangkan dalam bentuk terulis yang kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan yang dianggap sebagai putusan hakim.
Dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang dihadapkan kepadanya, seorang hakim terikat pada asas-asas hukum yang berlaku umum, salah satunya adalah mengenai larangan memutus putusan yang ultra petita. Ultra petita dalam hukum formil Peradilan Indonesia mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut.
Namun dalam prakteknya ada sebagian hakim yang memutus perkara yang dihadapkan kepadanya melebihi dari apa yang di tuntut, sehingga muncul pro dan kontra atas putusan hakim yang ultra petita. Ditengah pro kontro inilah pemakalah akan membahas mengenai putusan hakim yang ultra petita dalam sistem hukum berbasis undang-undang ditinjau dari perspektif teori hukum.  
II. Pangkal Tolak Pandangan Teoritis
Landasan Teori atas putusan hakim yang ultra petita dalam sistem hukum berbasis undang-undang
Sebelum masuk pada landasan teori terkait dengan putusan ultra petita maka ada baiknya kita klasifikasikan teori-teori terpenting di bidang filsafat hukum dan di bidang peradilan serta teori-teori yang berkenaan dengan penemuan hukum, sejak era klasik sampai dengan era post modern.[2]
1.      Teori Hukum Klasik (pramodern), yang mencakup:
a.       Natural Law (Aliran Hukum Alam)
b.      Kadi Court (Peradilan Kadi)
c.       Islamic jurisprudence (teori hukum Islam)
d.      Japan Legal theory (teori hukum Jepang)
e.       Teori hukum adat Indonesia
f.       Transcendental idealism (aliran idealisme transcendental)
g.      Utilitarianism (aliran utilistis)
h.      Legal positivisme (positivisme hukum)
i.        Legal Formalism (formalisme hukum)
j.        Historical jurisprudence (aliran ilmu hukum historis)
k.      Marxist jurisprudence (aliran hukum marxist)
2.      Teori hukum modern, yang mencakup :
a.       American Legal realism (realisme hukum Amerika)
b.      Scandinavian legal realism (realisme hukum skandinavia)
c.       The sociological movement in jurisprudence (aliran sosiologi hukum)
d.      The anthropology movement in jurisprudence (aliran antropologi hukum)
e.       The psychology movement in yurisprudence (aliran psikologi hukum)
3.      Teori hukum komtemporer (postmodern), yang mencakup :
a.       Justice theory dari Jhon Rawls
b.      Critical legal studies (gerakan hukum kritis)
c.       Neo-evolutionary of law (teori neo-evolusioner hukum)
d.      The disorder of law (teori ketidakteraturan hukum)
e.       Law and economic theory (teori hukum dan ekonomi)
f.       Law and development theory (teori hukum dan pembangunan)
g.      Feminist legal theory (teori hukum feminis)
h.      Mazhab legal process
Charles Samprod mengemukakan bahwa, sebagian besar teori hukum terpusat pada salah satu dan tiga jenis sistem hukum, yaitu:[3]
1.      Source -based (berbasis sumber)
2.      Content-based (berbasis isi)
3.      Function-based (berbasis fungsi)
Sebagian besar  teori hukum komtemporer sebenarnya adalah sosiologi hukum, maka disini pemakalah akan mengupas mengenai ultra petita ini bertitik tolak dari teori hukum progresif (Grand Theory) yang dipopulerkan oleh Satjipto Raharjo, sebagai pisau analisis dalam makalah ini.
Hukum Progresif
 Satjipto Raharjo, merupakan pakar yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif. Satjipto Rahardjo menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum" di Indonesia. Progresif berasal dari kata  progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti  perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Satjipto Rahardjo kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesai adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.
Hukum progresif menawarkan jalan lain yang berbeda dengan mindstream utama aliran hukum di Indonesia. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.
Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali dapat melakukan interpretasi baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan. Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, berulang-ulang Satjipjo Rahardjo menyebutkan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Berulang kali Satjipjo Rahardjo mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya. Berdasarkan uraian di atas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain,  sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar  manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan  status quo dalam berhukum. Mempertahankan  status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang  berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum.
Ketiga, apabila diakui bahwa peradaban hukum akan memunculkan sekalian akibat dan risiko yang ditimbulkan, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan  dalam menggunakan hukum tertulis. Secara ekstrim kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum yang tertulis itu.  
III. Analisa Terhadap Tema
Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita dalam sistem hukum yang berbasis undang-undang seperti Indonesia dalam penggunaannya adalah tabu, hal ini dapat kita telisik dari ketentuan yang mengaturnya yaitu pada Pasal 178 ayat (3) HIR yang berisi ketentuan bahwa hakim dilarang untuk memutuskan melebihi tuntutan atau memutus apa yang tidak dituntut. Maka jika terdapat putusan yang keluar dari apa yang sudah ditentukan maka besar kemungkinannya akan dibatalkan oleh peradilan di tingkat atasnya.
Dari uraian diatas, pemakalah akan menganalisanya dengan berpangkal tolak pada landasan teori hukum progresif yaitu bahwa hukum adalah untuk manusia dan menolak hukum pada keadaan status quo.
Dalam menganalisa tema yang diberikan pemakalah akan menganalisa dengan cara studi kasus yaitu PUTUSAN KASASI MA RI NO. 2263.K/PDT/1991  dan PUTUSAN PK MA RI NO. 650.PK/PDT/1994, yang mana dalam makalah ini akan ditulis dengan istilah kasus Kedung Ombo hal ini semata-mata hanyalah untuk memudahkan penulis dan pembaca. Kasus Kedung Ombo ini pada tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) memutus perkaranya melebihi dari apa yang diminta (ultra petita), walau pada akhirnya putusan tersebut di batalkan pada tingkat Peninjauan Kembali.
Berikut ini adalah kasus posisi dari kasus Kedung Ombo, Pada tahun 1985 Pemerintah merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 Megawatt dan dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektar sawah disekitarnya. Waduk ini dinamakan Waduk Kedung Ombo. Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989. Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Grobogan dan Boyolali. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.  Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991 dan warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Perselisihan ini akhirnya sampai ke pengadilan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung No. 2263.K/Pdt/1991 dan putusan Kasasi lebih memberi keadilan bagi rakyat, yang kemudian dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan No. 650.PK/Pdt/1994 Tahun 2001.
Pembatalan putusan kasasi Mahkamah Agung oleh Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (PK MA) adalah dilatarbelakangi adanya perbedaan paradigma yang dianut antara majelis hakim kasasi MA dan majelis hakim PK MA. Dalam memeriksa PK, majelis hakim PK MA tampaknya terlalu berpandangan normatif legistis. Hal ini terlihat dalam pertimbangan pembatalan putusan kasasi MA dengan mendasarkan pada Pasal 178 ayat (3) HIR yang berisi ketentuan bahwa hakim dilarang untuk memutuskan melebihi tuntutan atau memutus apa yang tidak dituntut. Sedangkan hakim kasasi MA mempunyai pandangan yang lebih maju dengan berani memberikan penafsiran yang sifatnya sosiologis tarhadap tuntutan subsider yang memohon putusan seadil-adilnya. Adanya ganti rugi immaterial dan putusan yang melebihi tuntutan, semuanya itu merupakan fungsionalisasi hukum dalam kehidupan masyarakat.
Pada tingkat kasasi yang dipimpin oleh Hakim Agung Z. Asikin Kusumah Atmadja, memutuskan jumlah ganti rugi menjadi berlipat-lipat yang mana pada tingkat pertama, ganti rugi yang dituntut oleh penduduk hanya RP. 1000,- (seribu rupiah) permeter persegi. Namun dalam tingkat kasasi, Asikin memutuskan jumlah ganti rugi menjadi Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) permeter persegi.
Agar analisa terhadap tema ini dapat lebih terarah maka pemakalah akan merinci point-point putusan pada tingkat kasasi MA dan PK MA. Sedangkan putusan Pengadilan Negeri Semarang dan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah yang membahas fakta hukumnya (judex factie) tidak akan terlalu dibahas mengingat bahwa yang ingin pemakalah ketahui dari kasus ini adalah mengenai penerapan hukumnya (judex jurist) terutama terkait atas putusan yang ultra petita.
Berikut putusan kasasi MA terhadap kasus Kedung Ombo, mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon kasasi untuk sebagian yang terdiri atas 34 orang. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.143/Pdt/1991/PT.Smg. tanggal 19 April 1991 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990/PN.Smg. tanggal 20 Desember 1990. Menghukum Tergugat 1 dan Tergugat 2 untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng :
a.                 yang timbul karena tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman-tanaman seperti yang diuraikan diatas yang telah ditenggelamkan (kerugian materiel) yaitu untuk tanah dan/atau bangunan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah)/m2. Sedangkan untuk tanaman-tanaman sebesar Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah)/m2 dengan catatan masing-masing Penggugat setelah mengecek kembali sesuai data luas tanah dan atau bangunan serta tanaman-tanaman pada waktu mengajukan permohonan eksekusi.
b.                kerugian yang timbul yang bersifat immateriel yaitu sesuai dengan petitum secara ex aquo et bono sebesar Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
Berikut putusan PK MA yang dipimpin Purwoto atas kasus Kedung Ombo, Pendirian majelis hakim PK MA ini didasari oleh alasan yuridis yang intisarinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Badan Peradilan, mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi, dalam putusannya tidak diperkenankan mengabulkan gugatan melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat. Bilamana hal ini dilanggar, maka putusan tersebut adalah bertentangan dengan Ketentuan ex pasal 178 (3) H.I.R dan juga pasal 67 ayat C dari Undang-undang no. 14 Tahun 1985.
  2. Dalam gugatan Penggugat a.quo, petitumnya/tuntutannya disusun sbb:
-          Tuntutan primair atau
-          Tuntutan Subsidair,” ex aequo et bono”.
Hakim dalam menghadapi petitum yang demikian itu, maka sesuai dengan tertib Hukum Acara Perdata, bila Hakim ingin memberikan putusan yang seadil-adilnya dalam tuntutan subsidairnya, maka Hakim tidak boleh mengabulkan tuntutan subsidair tersebut melebihi daripada isi tuntutan primairnya (ex pasal 178 (3) H.I.R jo pasal 67 (C) Undang-undang no.14 tahun 1985).
  1. Merupakan jurisprudensi tetap Mahkamah Agung :
Dalam suatu gugatan perdata yang petitumnya terdiri dari Tuntutan Primair dan Subsidair (ex aequo et bono), maka untuk ketertiban hukum acara, seharusnya Hakim hanya memilih salah satu, yaitu : Apakah tuntutan primair ataukah tuntutan subsidair yang akan dikabulkan, bukannya Hakim menggunakan kebebasan yang diberikan oleh tuntutan subsidair untuk mengabulkan tuntutan primair, dengan mengisi kekurangan yang ada pada tuntutan primair. (Periksa Mahkamah Agung No.882.K/Sip/1974 tanggal 21 Maret 1976).
  1. Dalam kasus Waduk Kedung Ombo ini, Majelis Kasasi dalam putusannya, mengabulkan Ganti Rugi Immateriil. Pemberian ganti rugi immateriil ini, adalah bertentangan dengan hukum, karena:
-          Tidak dituntut oleh Penggugat dalam surat gugatannya.
-          Tidak ada bukti perincian adanya kerugian dan berapa besarnya kerugian yang diderita.
-          Disamping itu juga tidak berdasar pada pasal 1370 - pasal 1371 dan - pasal 1372. B.W. yang menentukan bahwa ganti rugi immateriil itu, hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti : kematian, luka berat dan penghinaan.

Dari dua keputusan di lingkungan MA diatas yaitu pada putusan kasasi MA dan putusan PK MA, terdapat dua pemikiran yang saling bertolak belakang, yang mana putusan pada tingkat kasasi putusannya lebih mengedepankan keadilan. Putusan kasasi MA terhadap kasus Kedung Ombo ini majelis hakim berani keluar dari kungkungan cara berhukum yang legalisme positivistik. Putusan kasasi MA ini merupakan cerminan sebagian hakim Indonesia yang tidak mau dikalahkan oleh kata-kata yang tertulis secara hitam-putih dalam perundang-undangan, melainkan mencoba berbuat kreatif.[4] Satjipto Raharjdo menyatakan, keadilan memang barang abstrak dan oleh karena itu, perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang lelah dan memberatkan. Akan tetapi, memang itulah yang menjadi taruhan, bukan semata-mata “memencet tombol undang-undang”.[5] Ketika kita telah lelah dan berhenti memburu keadilan maka hukum yang ada tidak akan ada manfaatnya bagi kebahagian masyarakat.
Jika kita lihat dari putusan PK MA terhadap kasus Kedung Ombo ini maka putusan itu hanyalah “memencet tombol undang-undang”. Ini terlihat ketika majelis hakim PK MA mendasarkan putusannya pada landasan yuridis semata yaitu, Dalam gugatan perdata, maka hakim tidak diperkenankan memberikan putusan yang melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat. Ex pasal 178 (3) H.I.R. jo pasal 67 (C) UU. no. 14 Tahun 1985, Petitum gugatan perdata yang terdiri dari tuntutan primair dan Subsidair (ex aequo et bono) maka Hakim hanya boleh memilih salah satu, yaitu mengabulkan primair atau subsidairnya, Ganti Rugi Immateriil, sesuai dengan dengan pasal 1370 - pasal 1371 dan pasal 1372 B.W. hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja, yaitu : kematian, luka berat dan penghinaan.
Dari putusan PK diatas dapat dilihat bagaimana terikatnya Hakim pada asas kepastian hukum tanpa sedikitpun berani keluar dari apa yang sudah tertulis dalam undang-undang. Asas kepastian hukum tidak berisi petunjuk yang absolute yang tinggal dioperasikan oleh hakim, melainkan ia memuat semacam ruang kebebasan yang tidak kecil.[6]
Dengan menyimak dan memperhatikan cara berhukum majelis hakim PK MA dan apa yang telah diputuskan terhadap kasus Kedung Ombo ini majelis hakim lebih banyak bermain pada ranah logika dari kata-kata yang tertulis dalam teks undang-undang belaka, bukan pada ranah pengujian fakta-fakta. Maka hendaknya kita merenungkan kembali atas pernyataan Holmes yang menyatakan:
bahwa para yuris tidak seharusnya puas dengan bentuk-bentuk dangkal dari kata-kata, semata-mata hanya karena kata-kata bersangkutan telah sangat sering digunakan dan telah diulang-ulang dari salah satu ujung union ke ujung lainnya. Kita harus memikirkan hal-hal, bukannya kata-kata atau sekurang-kurangnya kita harus secara konstan menerjemahkan kata-kata ke dalam fakta-fakta yang diwakilinya jika kita hendak mengikuti sesuatu yang nyata dan benar.[7]
Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan pembebasan, yaitu membebaskan diri dari tipe berpikir legal-positivism.[8] Sehingga dengan demikian, paradigma pembebasan harus mampu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hakim dalam memutus suatu perkara untuk tidak hanya sekedar menjadi tawananan undang-undang.
Dalam kasus Kedung Ombo ini terlihat bagaimana hak-hak warga yang lemah ditindas secara sewenang-wenang oleh penguasa, yang tidak memberikan ganti rugi yang layak atas tanah dan rumah mereka yang terkena proyek dari Waduk irigasi yang dicanangkan pemerintah, belum lagi ditambah dengan berbagai intimidasi yang mereka terima dari penguasa, ditambah lagi dengan lamanya proses hukum yang harus mereka lalui, maka sudah selayaknyalah mereka menerima jumlah ganti rugi yang sepadan (putusan kasasi yang ultra petita dari majelis hakim MA) atas apa yang telah mereka korbankan. Para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum bisa membikin rakyat bahagia. Inilah yang disebut sebagai penyelenggaraan hukum progresif.[9]
Mengenai putusan hakim yang ultra petita di tingkat kasasi MA ini, seperti yang telah disinggung pada tulisan sebelumnya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan nilai-nilai keadilan. Yang mana pada tingkat kasasi mejelis hakim kasasi MA lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan dengan mendobrak perundang-undangan dan asas kepastian hukum, sedangkan pada tingkat PK majelis hakim PK MA lebih mengedepankan asas kepastian hukum.
Putusan di tingkat kasasi majelis hakim MA tampaknya lebih menggunakan kajian empiris terhadap hukum. Kajian empiris adalah kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur, dan lain-lain. Dengan kata lain, kajian empiris mengkaji law in action dan bersifat deskriptif yang dunianya adalah das sein (apa kenyataannya).[10] Berlainan sekali ketika kita melihat apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim PK MA dalam kasus Kedung Ombo ini dimana majelis hakim tampaknya mengedepankan penggunakan kajian normatif. Dimana kajian normatif ini memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaedah, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, yang sifatnya prespektif, dunianya adalah das sollen (apa yang seharusnya).[11]
Idealnya, setiap putusan hakim harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun realitas menunjukkan bahwa sering kali terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan nilai yang lainnya, apabila dalam kenyataannya telah terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum, muncul pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan? Menyangkut masalah ini, masih menjadi perdebatan ketika dilihat dalam setiap kasus-kasus tertentu, terutama dikalangan hakim yang menanggapinya secara berbeda dalam setiap putusannya.[12]
Dalam sistem hukum yang berbasis undang-undang terkait dengan putusan hakim yang ultra petita, kita tidak akan terlepas dari pada penafsiran hukum. Penafsiran hukum menjadi sesuatu yang ensensial dalam sistem hukum yang berbasis undang-undang. Dengan demikian penafsiran hukum sering dikatakan sebagai jantung hukum, sehingga hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar dapat menjadi lebih adil dan membumi.[13] Dari apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim PK MA atas kasus Kedung Ombo, kita juga dapat meneliti model penafsiran yang digunakan atas undang-undang, yaitu pada putusan PK MA majelis hakim tidak cukup berani keluar dari cara berpikir yang linear mekanistik, yang mana putusannya masih mengacu pada kata-kata yang terdapat dalam teks undang-undang belaka yaitu pasal 178 (3) H.I.R jo pasal 67 ayat C dari Undang-undang no. 14 Tahun 1985, yang intinya hakim tidak diperkenankan mengabulkan gugatan melebihi daripada apa yang dituntut oleh penggugat, sesuai dengan tertib Hukum Acara Perdata. Putusan semacam ini menurut pemakalah hanyalah semata-mata demi menjaga eksistensi asas kepastian hukum formal belaka yang merujuk kepada pasal 178 (3) H.I.R dan juga pasal 67 ayat C dari Undang-undang no. 14 Tahun 1985. Pasal ini seakan menjadi argumentasi mendasar majelis hakim PK MA dalam membatalkan putusan majelis hakim kasasi MA.
Achmad Ali dalam tulisannya yang berjudul dari formal legalistik ke delegalisasi memberikan kritik terhadap penegak hukum positivistik, dalam konteks  ini ia mengatakan:
Dewasa ini, cara berhukum bangsa ini sangat memprihatinkan. Akibat penggunaan kacamata positivistik yang kaku dalam menginterpretasikan berbagai undang-undang, maka berbagai kebijakan penegak hukum maupun putusan hakim gagal untuk menghasilkan suatu keadilan yang subtansial, melainkan hanya sekedar yang prosedural.[14]
Dari model panafsiran yang linear mekanistik di atas, pemakalah mencoba membandingkannya dengan model penafsiran hermeneutika. Hermeunitika dapat diartikan sebagai teori analisis dan praktik penafsiran terhadap teks, sebagai kajian filsafat yang memiliki perbedaan dengan cara kerja epistemologi yang pada umumnya menitikberatkan ukuran kebenaran pada rasionalitas ilmiah. Hermeneutika mengandung kemahiran untuk memahami teks-teks yang berada pada ruang relativitas kultural dan historis dari setiap wacana manusia. Proses kegiatan reflektif terhadap pengetahuan dan karya manusia dalam hermeneutika, selalu terkait dengan persoalan waktu, tempat, pencipta teks, dan subjek penafsir.[15]
Penafsiran hermeneutika memberi kesempatan kepada pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang ekslusif semata, menggunakan paradigma positivisme, dan metode logis formal saja. Hermeneutika menganjurkan para pengkaji hukum menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna atau para pencari keadilan.[16]
Putusan majelis hakim PK MA atas kasus Kedung Ombo akan menghadapkan kita pada problem hermeneutika yang syarat dengan relativisme pemahaman. Persoalannya terletak pada asas kepastian hukum yang secara implisit menjadi kekuatan serta argumentasi majelis hakim PK MA dalam memahami pasal 178 (3) H.I.R jo pasal 67 ayat C dari Undang-undang no. 14 Tahun 1985 sebagai teks hukum. Pada titik inilah, terkesan asas kepastian hukum bersifat otonom dan berdiri sendiri, yakni majelis hakim PK menafsirkannya terlepas dari konteks dan realitas kasus Kedung Ombo. Fakta membuktikan bahwa warga yang tanah beserta rumah tempat mereka tinggal tidak mendapat ganti rugi yang layak, serta lamanya proses peradilan yang berjalan membuat harga jual tanah dan rumah warga yang telah digusur meningkat berlipat-lipat ganda, maka sudah selayaknyalah majelis hakim kasasi MA memberikan ganti rugi yang berlipat-lipat pula pada warga yang tanah dan rumahnya tergusur dimana dalam hal ini majelis hakim kasasi MA memberikan putusan yang ultra petita.
Sebagai suatu proses, maka penafsiran terhadap teks hukum harus dilihat secara realistis. Penafsiran hukum secara aktual (actual enforcement) memerlukan segenap penegak hukum yang menganggap kenyataan (realistis faktual) sebagai satu-satunya kebenaran. Oleh sebab itu, kita selalu dihadapkan pada kenyataan, yang setiap waktu dapat berubah, dan berbeda-beda dengan kenyataan dilain tempat, maka para penegak hukum tidak hanya berpegangan pada keterbatasan-keterbatasan pada teks hukum yang ada.[17]
          
 IV. Kesimpulan
      Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.      Dalam gugatan perdata, maka Hakim tidak diperkenankan memberikan putusan yang melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat. Ex pasal 178(3) H.I.R. jo pasal 67(C) U.U. no. 14 Tahun 1985.Apabila terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum, maka berdasarkan putusan PK MA RI tersebut dapat ditarik kesimpulan, maka kepastian hukum adalah prioritas meskipun dirasakan sangat tidak adil.
2.      Dalam memutus suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas-asas hukum perdata maupun asas-asas hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum.
3.      Keberadaan ultra petita yang sampai hari ini masih menjadi problematika akademik tersendiri dirasa perlu diterima sebagai bahan yang menunjang, dalam artian semua pandangan itu hanyalah bermuara pada satu tujuan yaitu demi terlangsungnya aturan hukum yang baik, dan para pembeda pemikir itulah salah satu bentuk bahwa masih banyak yang peduli atas terjadinya aturan hukum yang baik pula.
4.      Sekalipun banyaknya pandangan tersebut diatas, namun keberadaan ultra petita adalah salah satu terobosan hukum yang sangat berargumentasi tajam atas permasalahan hukum yang belum mampu dijawab oleh hukum itu sendiri, dan ultra petita adalah salah satu bentuk jawabannya.
5.      Teori hukum progresif adalah bentuk real yang cukup menguatkan bahwa hukum dalam impelementasinya tidak kaku yang berada diruang yang fakum, namun hukum itu dinamis yang harus mampu menjawab permasalahan perkembangan kehidupan masyarakat yang terus bergerak.
6.      Melalui teori hukum progregisf ini pemakalah menawarkan penafsiran hukum yang hermeneutika tidak hanya sekedar penafsiran yang linear mekanistik.
7.      Melalui teori hukum progresif pemakalah menekankan bagaimana dalam penegakan hukum haruslah didahulukan penegakan hukum yang subtantif daripada penegakan hukum yang prosedural belaka, dimana hakim dalam memutus perkara harus perpegang teguh pada tertib hukum acara, tetapi hakim seharusnya tidak hanya sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan, melainkan harus mampu menangkap kehendak hukum masyarakat.
8.      Pada kasus Kedung Ombo ini dapat dengan jelas kita lihat bagaimana hebatnya benturan antara nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, maka menurut pemakalah ketika terjadi benturan semacam ini baiknya kita mengacu pada ajaran prioritas kasuistik yang tidak mengabaikan salah satunya.
           

  

Daftar Pustaka

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), ctk. Keempat, Jakarta, Kencana Pranada Media Group, 2012.
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, ctk. Pertama, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012.
-------------------------------------------, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, ctk. Pertama, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012.
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, ctk, kedua, Bekasi, Gramata Publishing, 2012.
Fauzi Fashri, Penyikapan Kuasa Simbol; Apropriasi Reflektif Pierre Bourdieu, ctk. Pertama, Yogyakarta, Juxtapose, 2007.
FX. Adji Samekto, Justice Not For AllKritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis”, ctk. Pertama, Yogyakarta, Genta Press, 2008.
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum; Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, ctk. Pertama, Yogyakarta, UII Press, 2005.
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2010.
----------------------, Sisi-sisi lain dari Hukum Di Indonesia, ctk. Ketiga, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2009


[1] Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, ctk. Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hal. 13.
[2] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), ctk. Keempat, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2012, hal 10.  
[3] Ibid hal. 20.
[4] Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum Di Indonesia, ctk. Ketiga,PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hal 17
[5] Ibid hal. 119.
[6] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, ctk, kedua, Gramata Publishing, Bekasi, 2012, hal. 165.
[7] Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris……. Op cit. hal. 50.
[8] Faisal, Menerobos,……… op cit hal 161.
[9] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hal. 39.
[10] Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, ctk. Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hal. 2.
[11] Ibid hal. 1. 
[12] Faisal, Menerobos,…….. op.cit hal. 162.
[13] Ibid hal. 166.
[14] FX. Adji Samekto, Justice Not For AllKritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis”, ctk. Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2008, hal 34.
[15] Fauzi Fashri, Penyikapan Kuasa Simbol; Apropriasi Reflektif Pierre Bourdieu, ctk. Pertama, Juxtapose, Yogyakarta, 2007, hal. 19.
[16] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum; Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, ctk. Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 48.
[17] Faisal, Menerobos,……… op.cit hal. 185.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar