I.
Latar
Belakang
Harry C. Bredemeier memandang bahwa
tugas pengadilan adalah untuk membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik
dan gangguan terciptanya kerja sama. Untuk melaksanakan tugasnya itu,
pengadilan membutuhkan tiga keadaan, atau di dalam istilah yang digunakan oleh
Parsons dan koleganya, pengadilan bergantung pada tiga jenis masukan (input), masing-masing:[1]
- Pengadilan
membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab akibat.
- Pengadilan
membutuhkan suatu konsep dari apa yang oleh “pembagian kerja” adalah “for”; apa tujuan dari sistem-sistem
yang ada, apa usaha negara untuk menciptakan atau mempertahankan
pelaksanaan kekuasaan.
- Pengadilan
membutuhkan suatu kemauan dari para pihak untuk menggunakan pengadilan
sebagai mekanisme penyelesain konflik mereka.
Berbicara mengenai pengadilan dan
putusan dari pengadilan kita tidak akan terlepas dari person yang mengisi organ-organ pengadilan yang merupakan bangunan ide
dan gagasan dari hukum yang masih abstrak. Salah satu person yang dimaksud tidak lain adalah hakim yang mengisi bangunan
ide dan gagasan yang abstrak dari hukum tadi.
Dalam Undang-Undang Dasar Rebublik
Indonesia 1945 kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 24 Pasal 24A, 24B dan 24C
pada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Perwujudan amanat ini dituangkan dalam
Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru
menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pelaksanaan operasional kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Kekuasaan yang dimaksud merupakan suatu kaidah yang berisi suatu hak, yaitu hak
untuk menentukan hukum, sehingga dapat diartikan kekuasaan sebagai kaidah yang
mengandung makna perkenaan atau kebolehan untuk bertindak. Sehubungan dengan
kewenangan hakim yang dimiliki adalah termasuk di dalam menjatuhkan suatu
putusan.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan (statement) yang dibuat oleh hakim sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di muka sidang dengan tujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak yang bersengketa. Selain
diucapkan oleh hakim, hal ini juga harus dituangkan dalam bentuk terulis yang
kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan yang dianggap sebagai putusan
hakim.
Dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang dihadapkan kepadanya,
seorang hakim terikat pada asas-asas hukum yang berlaku umum, salah satunya
adalah mengenai larangan memutus putusan yang ultra petita. Ultra petita dalam
hukum formil Peradilan Indonesia mengandung pengertian penjatuhan putusan atas
perkara yang tidak dituntut. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan
(3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta Pasal 189 ayat (2) dan (3)
RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut.
Namun dalam prakteknya ada sebagian hakim yang memutus perkara
yang dihadapkan kepadanya melebihi dari apa yang di tuntut, sehingga muncul pro
dan kontra atas putusan hakim yang ultra petita. Ditengah pro kontro inilah
pemakalah akan membahas mengenai putusan hakim yang ultra petita dalam sistem
hukum berbasis undang-undang ditinjau dari perspektif teori hukum.
II. Pangkal Tolak
Pandangan Teoritis
Landasan
Teori atas putusan hakim yang ultra petita dalam sistem hukum berbasis undang-undang
Sebelum
masuk pada landasan teori terkait dengan putusan ultra petita maka ada baiknya
kita klasifikasikan teori-teori terpenting di bidang filsafat hukum dan di
bidang peradilan serta teori-teori yang berkenaan dengan penemuan hukum, sejak
era klasik sampai dengan era post modern.[2]
1. Teori
Hukum Klasik (pramodern), yang mencakup:
a. Natural
Law (Aliran Hukum Alam)
b. Kadi
Court (Peradilan Kadi)
c. Islamic
jurisprudence (teori hukum Islam)
d. Japan
Legal theory (teori hukum Jepang)
e. Teori
hukum adat Indonesia
f. Transcendental
idealism (aliran idealisme transcendental)
g. Utilitarianism
(aliran utilistis)
h. Legal
positivisme (positivisme hukum)
i.
Legal Formalism (formalisme hukum)
j.
Historical jurisprudence (aliran ilmu
hukum historis)
k. Marxist
jurisprudence (aliran hukum marxist)
2. Teori
hukum modern, yang mencakup :
a. American
Legal realism (realisme hukum Amerika)
b. Scandinavian
legal realism (realisme hukum skandinavia)
c. The
sociological movement in jurisprudence (aliran sosiologi hukum)
d. The
anthropology movement in jurisprudence (aliran antropologi hukum)
e. The
psychology movement in yurisprudence (aliran psikologi hukum)
3. Teori
hukum komtemporer (postmodern), yang mencakup :
a. Justice
theory dari Jhon Rawls
b. Critical
legal studies (gerakan hukum kritis)
c. Neo-evolutionary
of law (teori neo-evolusioner hukum)
d. The
disorder of law (teori ketidakteraturan hukum)
e. Law
and economic theory (teori hukum dan ekonomi)
f. Law
and development theory (teori hukum dan pembangunan)
g. Feminist
legal theory (teori hukum feminis)
h. Mazhab
legal process
Charles
Samprod mengemukakan bahwa, sebagian besar teori hukum terpusat pada salah satu
dan tiga jenis sistem hukum, yaitu:[3]
1. Source
-based (berbasis sumber)
2. Content-based
(berbasis isi)
3. Function-based
(berbasis fungsi)
Sebagian
besar teori hukum komtemporer sebenarnya
adalah sosiologi hukum, maka disini pemakalah akan mengupas mengenai ultra
petita ini bertitik tolak dari teori hukum progresif (Grand Theory) yang
dipopulerkan oleh Satjipto Raharjo, sebagai pisau analisis dalam makalah ini.
Hukum
Progresif
Satjipto Raharjo, merupakan pakar yang pertama
kali mencetuskan gagasan hukum progresif. Satjipto Rahardjo menawarkan
perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum" di
Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan.
Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab
perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani
masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia
penegak hukum itu sendiri. Satjipto Rahardjo kemudian berkesimpulan bahwa salah
satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesai adalah
dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.
Hukum
progresif menawarkan jalan lain yang berbeda dengan mindstream utama aliran
hukum di Indonesia. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum.
Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh
penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya)
menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi
ujung tombak perubahan.
Menghadapi
suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak
hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali
dapat melakukan interpretasi baru terhadap aturan tersebut untuk memberi
keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan. Hukum itu bukan hanya
bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam
satu dekade terakhir, berulang-ulang Satjipjo Rahardjo menyebutkan satu hal
penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Berulang kali Satjipjo
Rahardjo mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya.
Berdasarkan uraian di atas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain
seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang
membedakannya dengan yang lain, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Pertama,
paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”.
Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu
yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat
perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya.
Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Kedua,
hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum.
Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu
orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia
adalah untuk hukum.
Ketiga,
apabila diakui bahwa peradaban hukum akan memunculkan sekalian akibat dan
risiko yang ditimbulkan, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi
tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum
tertulis. Secara ekstrim kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk
sepenuhnya tunduk kepada hukum yang tertulis itu.
III. Analisa Terhadap
Tema
Ultra
petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara
yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita dalam
sistem hukum yang berbasis undang-undang seperti Indonesia dalam penggunaannya
adalah tabu, hal ini dapat kita telisik dari ketentuan yang mengaturnya yaitu
pada Pasal 178 ayat (3) HIR yang berisi ketentuan bahwa hakim dilarang untuk
memutuskan melebihi tuntutan atau memutus apa yang tidak dituntut. Maka jika
terdapat putusan yang keluar dari apa yang sudah ditentukan maka besar
kemungkinannya akan dibatalkan oleh peradilan di tingkat atasnya.
Dari
uraian diatas, pemakalah akan menganalisanya dengan berpangkal tolak pada
landasan teori hukum progresif yaitu bahwa hukum adalah untuk manusia dan
menolak hukum pada keadaan status quo.
Dalam
menganalisa tema yang diberikan pemakalah akan menganalisa dengan cara studi
kasus yaitu PUTUSAN KASASI MA RI NO. 2263.K/PDT/1991 dan
PUTUSAN PK MA RI NO. 650.PK/PDT/1994, yang mana dalam makalah ini akan ditulis
dengan istilah kasus Kedung Ombo hal ini semata-mata
hanyalah untuk memudahkan penulis dan pembaca. Kasus Kedung Ombo ini pada
tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) memutus perkaranya melebihi dari apa yang
diminta (ultra petita), walau pada akhirnya putusan tersebut di batalkan pada
tingkat Peninjauan Kembali.
Berikut ini adalah
kasus posisi dari kasus Kedung Ombo, Pada tahun 1985 Pemerintah merencanakan membangun waduk baru
di Jawa Tengah untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 Megawatt dan
dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektar sawah disekitarnya. Waduk ini
dinamakan Waduk Kedung Ombo. Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989.
Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Grobogan dan
Boyolali. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk
ini. Ketika sebagian besar warga sudah
meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena
ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan
ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². Waduk
ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991 dan warga
tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Perselisihan
ini akhirnya sampai ke pengadilan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang
No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah
No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung No.
2263.K/Pdt/1991 dan putusan Kasasi lebih memberi keadilan bagi rakyat, yang
kemudian dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan No.
650.PK/Pdt/1994 Tahun 2001.
Pembatalan
putusan kasasi Mahkamah Agung oleh Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (PK MA)
adalah dilatarbelakangi adanya perbedaan paradigma yang dianut antara majelis hakim
kasasi MA dan majelis hakim PK MA. Dalam memeriksa PK, majelis hakim PK MA tampaknya
terlalu berpandangan normatif legistis. Hal ini terlihat dalam pertimbangan
pembatalan putusan kasasi MA dengan mendasarkan pada Pasal 178 ayat (3) HIR
yang berisi ketentuan bahwa hakim dilarang untuk memutuskan melebihi tuntutan
atau memutus apa yang tidak dituntut. Sedangkan hakim kasasi MA mempunyai
pandangan yang lebih maju dengan berani memberikan penafsiran yang sifatnya
sosiologis tarhadap tuntutan subsider yang memohon putusan seadil-adilnya.
Adanya ganti rugi immaterial dan putusan yang melebihi tuntutan, semuanya itu
merupakan fungsionalisasi hukum dalam kehidupan masyarakat.
Pada
tingkat kasasi yang dipimpin oleh Hakim Agung Z. Asikin Kusumah Atmadja, memutuskan jumlah
ganti rugi menjadi berlipat-lipat yang mana pada tingkat pertama, ganti rugi
yang dituntut oleh penduduk hanya RP. 1000,- (seribu rupiah) permeter persegi.
Namun dalam tingkat kasasi, Asikin memutuskan jumlah ganti rugi menjadi Rp.
50.000,- (lima puluh ribu rupiah) permeter persegi.
Agar
analisa terhadap tema ini dapat lebih terarah maka pemakalah akan merinci
point-point putusan pada tingkat kasasi MA dan PK MA. Sedangkan putusan Pengadilan Negeri
Semarang dan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah yang membahas fakta hukumnya
(judex factie) tidak akan terlalu dibahas mengingat bahwa yang ingin pemakalah
ketahui dari kasus ini adalah mengenai penerapan hukumnya (judex jurist)
terutama terkait atas putusan yang ultra petita.
Berikut
putusan kasasi MA terhadap kasus Kedung Ombo, mengabulkan permohonan kasasi
dari para pemohon kasasi untuk sebagian yang terdiri atas 34 orang. Membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi Semarang No.143/Pdt/1991/PT.Smg. tanggal 19 April 1991 yang menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990/PN.Smg. tanggal 20
Desember 1990. Menghukum Tergugat 1 dan Tergugat 2 untuk membayar ganti rugi
secara tanggung renteng :
a.
yang
timbul karena tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman-tanaman seperti yang diuraikan
diatas yang telah ditenggelamkan (kerugian materiel) yaitu untuk tanah dan/atau
bangunan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah)/m2. Sedangkan untuk
tanaman-tanaman sebesar Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah)/m2 dengan catatan
masing-masing Penggugat setelah mengecek kembali sesuai data luas tanah dan
atau bangunan serta tanaman-tanaman pada waktu mengajukan permohonan eksekusi.
b.
kerugian
yang timbul yang bersifat immateriel yaitu sesuai dengan petitum secara ex aquo
et bono sebesar Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
Berikut
putusan PK MA yang dipimpin Purwoto atas kasus Kedung Ombo, Pendirian majelis hakim PK MA ini
didasari oleh alasan yuridis yang intisarinya dapat disimpulkan sebagai berikut
:
- Badan Peradilan, mulai dari
peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi, dalam putusannya
tidak diperkenankan mengabulkan gugatan melebihi daripada apa yang
dituntut oleh Penggugat. Bilamana hal ini dilanggar, maka putusan tersebut
adalah bertentangan dengan Ketentuan ex pasal 178 (3) H.I.R dan juga pasal
67 ayat C dari Undang-undang no. 14 Tahun 1985.
- Dalam gugatan Penggugat a.quo,
petitumnya/tuntutannya disusun sbb:
-
Tuntutan
primair atau
-
Tuntutan
Subsidair,” ex aequo et bono”.
Hakim
dalam menghadapi petitum yang demikian itu, maka sesuai dengan tertib Hukum
Acara Perdata, bila Hakim ingin memberikan putusan yang seadil-adilnya dalam
tuntutan subsidairnya, maka Hakim tidak boleh mengabulkan tuntutan subsidair
tersebut melebihi daripada isi tuntutan primairnya (ex pasal 178 (3) H.I.R jo
pasal 67 (C) Undang-undang no.14 tahun 1985).
- Merupakan jurisprudensi tetap Mahkamah Agung :
Dalam suatu gugatan perdata yang petitumnya terdiri dari
Tuntutan Primair dan Subsidair (ex aequo et bono), maka untuk ketertiban hukum
acara, seharusnya Hakim hanya memilih salah satu, yaitu : Apakah tuntutan
primair ataukah tuntutan subsidair yang akan dikabulkan, bukannya Hakim
menggunakan kebebasan yang diberikan oleh tuntutan subsidair untuk mengabulkan
tuntutan primair, dengan mengisi kekurangan yang ada pada tuntutan primair.
(Periksa Mahkamah Agung No.882.K/Sip/1974 tanggal 21 Maret 1976).
- Dalam kasus Waduk Kedung Ombo ini, Majelis Kasasi dalam
putusannya, mengabulkan Ganti Rugi Immateriil. Pemberian ganti rugi
immateriil ini, adalah bertentangan dengan hukum, karena:
-
Tidak
dituntut oleh Penggugat dalam surat gugatannya.
-
Tidak
ada bukti perincian adanya kerugian dan berapa besarnya kerugian yang diderita.
-
Disamping
itu juga tidak berdasar pada pasal 1370 - pasal 1371 dan - pasal 1372. B.W.
yang menentukan bahwa ganti rugi immateriil itu, hanya dapat diberikan dalam
hal-hal tertentu saja seperti : kematian, luka berat dan penghinaan.
Dari dua keputusan di lingkungan MA diatas yaitu pada
putusan kasasi MA dan putusan PK MA, terdapat dua pemikiran yang saling
bertolak belakang, yang mana putusan pada tingkat kasasi putusannya lebih
mengedepankan keadilan. Putusan kasasi MA terhadap kasus Kedung Ombo ini majelis
hakim berani keluar dari kungkungan cara berhukum yang legalisme positivistik. Putusan
kasasi MA ini merupakan cerminan sebagian hakim Indonesia yang tidak mau
dikalahkan oleh kata-kata yang tertulis secara hitam-putih dalam
perundang-undangan, melainkan mencoba berbuat kreatif.[4]
Satjipto Raharjdo menyatakan, keadilan memang barang abstrak dan oleh karena
itu, perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang lelah dan memberatkan.
Akan tetapi, memang itulah yang menjadi taruhan, bukan semata-mata “memencet
tombol undang-undang”.[5]
Ketika kita telah lelah dan berhenti memburu keadilan maka hukum yang ada tidak
akan ada manfaatnya bagi kebahagian masyarakat.
Jika kita lihat dari putusan PK MA terhadap kasus Kedung
Ombo ini maka putusan itu hanyalah “memencet tombol undang-undang”. Ini terlihat
ketika majelis hakim PK MA mendasarkan putusannya pada landasan yuridis semata
yaitu, Dalam gugatan perdata, maka hakim tidak diperkenankan memberikan putusan
yang melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat. Ex pasal 178 (3)
H.I.R. jo pasal 67 (C) UU. no. 14 Tahun 1985, Petitum gugatan perdata yang
terdiri dari tuntutan primair dan Subsidair (ex aequo et bono) maka Hakim hanya
boleh memilih salah satu, yaitu mengabulkan primair atau subsidairnya, Ganti
Rugi Immateriil, sesuai dengan dengan pasal 1370 - pasal 1371 dan pasal 1372
B.W. hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja, yaitu : kematian, luka
berat dan penghinaan.
Dari putusan PK diatas dapat dilihat bagaimana terikatnya
Hakim pada asas kepastian hukum tanpa sedikitpun berani keluar dari apa yang
sudah tertulis dalam undang-undang. Asas kepastian hukum tidak berisi petunjuk
yang absolute yang tinggal dioperasikan
oleh hakim, melainkan ia memuat semacam ruang kebebasan yang tidak kecil.[6]
Dengan menyimak dan memperhatikan cara berhukum majelis
hakim PK MA dan apa yang telah diputuskan terhadap kasus Kedung Ombo ini majelis
hakim lebih banyak bermain pada ranah logika dari kata-kata yang tertulis dalam
teks undang-undang belaka, bukan pada ranah pengujian fakta-fakta. Maka
hendaknya kita merenungkan kembali atas pernyataan Holmes yang menyatakan:
bahwa para
yuris tidak seharusnya puas dengan bentuk-bentuk dangkal dari kata-kata,
semata-mata hanya karena kata-kata bersangkutan telah sangat sering digunakan
dan telah diulang-ulang dari salah satu ujung union ke ujung lainnya. Kita harus memikirkan hal-hal, bukannya
kata-kata atau sekurang-kurangnya kita harus secara konstan menerjemahkan
kata-kata ke dalam fakta-fakta yang diwakilinya jika kita hendak mengikuti
sesuatu yang nyata dan benar.[7]
Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan
pembebasan, yaitu membebaskan diri dari tipe berpikir legal-positivism.[8]
Sehingga dengan demikian, paradigma pembebasan harus mampu menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari hakim dalam memutus suatu perkara untuk tidak hanya
sekedar menjadi tawananan undang-undang.
Dalam kasus Kedung Ombo ini terlihat bagaimana hak-hak warga
yang lemah ditindas secara sewenang-wenang oleh penguasa, yang tidak memberikan
ganti rugi yang layak atas tanah dan rumah mereka yang terkena proyek dari
Waduk irigasi yang dicanangkan pemerintah, belum lagi ditambah dengan berbagai
intimidasi yang mereka terima dari penguasa, ditambah lagi dengan lamanya
proses hukum yang harus mereka lalui, maka sudah selayaknyalah mereka menerima
jumlah ganti rugi yang sepadan (putusan kasasi yang ultra petita dari majelis
hakim MA) atas apa yang telah mereka korbankan. Para penyelenggara hukum di
negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum bisa
membikin rakyat bahagia. Inilah yang disebut sebagai penyelenggaraan hukum
progresif.[9]
Mengenai putusan hakim yang ultra petita di tingkat kasasi MA
ini, seperti yang telah disinggung pada tulisan sebelumnya terjadi pertentangan
antara kepastian hukum dan nilai-nilai keadilan. Yang mana pada tingkat kasasi
mejelis hakim kasasi MA lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan dengan
mendobrak perundang-undangan dan asas kepastian hukum, sedangkan pada tingkat
PK majelis hakim PK MA lebih mengedepankan asas kepastian hukum.
Putusan di tingkat kasasi majelis hakim MA tampaknya lebih menggunakan
kajian empiris terhadap hukum. Kajian empiris adalah kajian yang memandang
hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur, dan
lain-lain. Dengan kata lain, kajian empiris mengkaji law in action dan bersifat deskriptif yang dunianya adalah das sein (apa kenyataannya).[10]
Berlainan sekali ketika kita melihat apa yang telah diputuskan oleh majelis
hakim PK MA dalam kasus Kedung Ombo ini dimana majelis hakim tampaknya mengedepankan
penggunakan kajian normatif. Dimana kajian normatif ini memandang hukum dalam
wujudnya sebagai kaedah, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan, yang sifatnya prespektif, dunianya adalah das sollen (apa yang seharusnya).[11]
Idealnya, setiap putusan hakim harus dijiwai oleh tiga nilai
dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun realitas
menunjukkan bahwa sering kali terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan
nilai yang lainnya, apabila dalam kenyataannya telah terjadi pertentangan
antara keadilan dan kepastian hukum, muncul pertanyaan, nilai manakah yang
harus didahulukan? Menyangkut masalah ini, masih menjadi perdebatan ketika
dilihat dalam setiap kasus-kasus tertentu, terutama dikalangan hakim yang
menanggapinya secara berbeda dalam setiap putusannya.[12]
Dalam sistem hukum yang berbasis undang-undang terkait
dengan putusan hakim yang ultra petita, kita tidak akan terlepas dari pada
penafsiran hukum. Penafsiran hukum menjadi sesuatu yang ensensial dalam sistem
hukum yang berbasis undang-undang. Dengan demikian penafsiran hukum sering
dikatakan sebagai jantung hukum, sehingga hukum membutuhkan pemaknaan lebih
lanjut agar dapat menjadi lebih adil dan membumi.[13]
Dari apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim PK MA atas kasus Kedung Ombo,
kita juga dapat meneliti model penafsiran yang digunakan atas undang-undang,
yaitu pada putusan PK MA majelis hakim tidak cukup berani keluar dari cara
berpikir yang linear mekanistik, yang mana putusannya masih mengacu pada
kata-kata yang terdapat dalam teks undang-undang belaka yaitu pasal 178 (3)
H.I.R jo pasal 67 ayat C dari Undang-undang no. 14 Tahun 1985, yang intinya
hakim tidak diperkenankan mengabulkan gugatan melebihi daripada apa yang
dituntut oleh penggugat, sesuai dengan tertib Hukum Acara Perdata. Putusan
semacam ini menurut pemakalah hanyalah semata-mata demi menjaga eksistensi asas
kepastian hukum formal belaka yang merujuk kepada pasal 178 (3) H.I.R dan juga
pasal 67 ayat C dari Undang-undang no. 14 Tahun 1985. Pasal ini seakan menjadi
argumentasi mendasar majelis hakim PK MA dalam membatalkan putusan majelis
hakim kasasi MA.
Achmad Ali dalam tulisannya yang berjudul dari formal legalistik ke delegalisasi
memberikan kritik terhadap penegak hukum positivistik, dalam konteks ini ia mengatakan:
Dewasa ini, cara berhukum bangsa ini
sangat memprihatinkan. Akibat penggunaan kacamata positivistik yang kaku dalam
menginterpretasikan berbagai undang-undang, maka berbagai kebijakan penegak
hukum maupun putusan hakim gagal untuk menghasilkan suatu keadilan yang
subtansial, melainkan hanya sekedar yang prosedural.[14]
Dari model panafsiran yang linear mekanistik di atas,
pemakalah mencoba membandingkannya dengan model penafsiran hermeneutika.
Hermeunitika dapat diartikan sebagai teori analisis dan praktik penafsiran
terhadap teks, sebagai kajian filsafat yang memiliki perbedaan dengan cara
kerja epistemologi yang pada umumnya menitikberatkan ukuran kebenaran pada
rasionalitas ilmiah. Hermeneutika mengandung kemahiran untuk memahami teks-teks
yang berada pada ruang relativitas kultural dan historis dari setiap wacana
manusia. Proses kegiatan reflektif terhadap pengetahuan dan karya manusia dalam
hermeneutika, selalu terkait dengan persoalan waktu, tempat, pencipta teks, dan
subjek penafsir.[15]
Penafsiran hermeneutika memberi kesempatan kepada pengkaji
hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang ekslusif semata,
menggunakan paradigma positivisme, dan metode logis formal saja. Hermeneutika
menganjurkan para pengkaji hukum menggali dan meneliti makna-makna hukum dari
perspektif para pengguna atau para pencari keadilan.[16]
Putusan majelis hakim PK MA atas kasus Kedung Ombo akan
menghadapkan kita pada problem hermeneutika yang syarat dengan relativisme
pemahaman. Persoalannya terletak pada asas kepastian hukum yang secara implisit
menjadi kekuatan serta argumentasi majelis hakim PK MA dalam memahami pasal 178
(3) H.I.R jo pasal 67 ayat C dari Undang-undang no. 14 Tahun 1985 sebagai teks
hukum. Pada titik inilah, terkesan asas kepastian hukum bersifat otonom dan
berdiri sendiri, yakni majelis hakim PK menafsirkannya terlepas dari konteks
dan realitas kasus Kedung Ombo. Fakta membuktikan bahwa warga yang tanah
beserta rumah tempat mereka tinggal tidak mendapat ganti rugi yang layak, serta
lamanya proses peradilan yang berjalan membuat harga jual tanah dan rumah warga
yang telah digusur meningkat berlipat-lipat ganda, maka sudah selayaknyalah
majelis hakim kasasi MA memberikan ganti rugi yang berlipat-lipat pula pada
warga yang tanah dan rumahnya tergusur dimana dalam hal ini majelis hakim
kasasi MA memberikan putusan yang ultra petita.
Sebagai suatu proses, maka penafsiran terhadap teks hukum
harus dilihat secara realistis. Penafsiran hukum secara aktual (actual enforcement) memerlukan segenap
penegak hukum yang menganggap kenyataan (realistis faktual) sebagai
satu-satunya kebenaran. Oleh sebab itu, kita selalu dihadapkan pada kenyataan,
yang setiap waktu dapat berubah, dan berbeda-beda dengan kenyataan dilain
tempat, maka para penegak hukum tidak hanya berpegangan pada
keterbatasan-keterbatasan pada teks hukum yang ada.[17]
IV.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.
Dalam
gugatan perdata, maka Hakim tidak diperkenankan memberikan putusan yang
melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat. Ex pasal 178(3) H.I.R. jo
pasal 67(C) U.U. no. 14 Tahun 1985.Apabila terjadi pertentangan antara keadilan
dan kepastian hukum, maka berdasarkan putusan PK MA RI tersebut dapat ditarik
kesimpulan, maka kepastian hukum adalah prioritas meskipun dirasakan sangat
tidak adil.
2.
Dalam
memutus suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas-asas hukum
perdata maupun asas-asas hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan
putusan yang tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum.
3.
Keberadaan ultra petita yang sampai hari ini masih menjadi
problematika akademik tersendiri dirasa perlu diterima sebagai bahan yang
menunjang, dalam artian semua pandangan itu hanyalah bermuara pada satu tujuan
yaitu demi terlangsungnya aturan hukum yang baik, dan para pembeda pemikir
itulah salah satu bentuk bahwa masih banyak yang peduli atas terjadinya aturan
hukum yang baik pula.
4.
Sekalipun banyaknya pandangan tersebut diatas, namun keberadaan
ultra petita adalah salah satu terobosan hukum yang sangat berargumentasi tajam
atas permasalahan hukum yang belum mampu dijawab oleh hukum itu sendiri, dan
ultra petita adalah salah satu bentuk jawabannya.
5.
Teori hukum progresif adalah bentuk real yang cukup menguatkan
bahwa hukum dalam impelementasinya tidak kaku yang berada diruang yang fakum,
namun hukum itu dinamis yang harus mampu menjawab permasalahan perkembangan
kehidupan masyarakat yang terus bergerak.
6.
Melalui teori hukum progregisf ini pemakalah menawarkan penafsiran
hukum yang hermeneutika tidak hanya sekedar penafsiran yang linear mekanistik.
7.
Melalui teori hukum progresif pemakalah menekankan bagaimana dalam
penegakan hukum haruslah didahulukan penegakan hukum yang subtantif daripada
penegakan hukum yang prosedural belaka, dimana hakim dalam memutus perkara
harus perpegang teguh pada tertib hukum acara, tetapi hakim seharusnya tidak
hanya sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan, melainkan harus mampu
menangkap kehendak hukum masyarakat.
8.
Pada kasus Kedung Ombo ini dapat dengan jelas kita lihat bagaimana
hebatnya benturan antara nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum,
maka menurut pemakalah ketika terjadi benturan semacam ini baiknya kita mengacu
pada ajaran prioritas kasuistik yang tidak mengabaikan salah satunya.
Daftar Pustaka
Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), ctk. Keempat, Jakarta, Kencana Pranada Media Group, 2012.
Achmad
Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian
Empiris Terhadap Hukum, ctk. Pertama, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2012.
-------------------------------------------,
Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap
Pengadilan, ctk. Pertama, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012.
Faisal,
Menerobos Positivisme Hukum, ctk,
kedua, Bekasi, Gramata Publishing, 2012.
Fauzi
Fashri, Penyikapan Kuasa Simbol;
Apropriasi Reflektif Pierre Bourdieu, ctk. Pertama, Yogyakarta, Juxtapose,
2007.
FX.
Adji Samekto, Justice Not For All “Kritik Terhadap Hukum Modern dalam
Perspektif Studi Hukum Kritis”, ctk. Pertama, Yogyakarta, Genta Press, 2008.
Jazim
Hamidi, Hermeneutika Hukum; Teori
Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, ctk. Pertama, Yogyakarta, UII
Press, 2005.
Satjipto
Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif,
Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2010.
----------------------,
Sisi-sisi lain dari Hukum Di Indonesia,
ctk. Ketiga, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2009
[1]
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi
Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, ctk. Pertama, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2012, hal. 13.
[2]
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi
Undang-Undang (Legisprudence), ctk. Keempat, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, 2012, hal 10.
[3]
Ibid hal. 20.
[4]
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari
Hukum Di Indonesia, ctk. Ketiga,PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009,
hal 17
[5]
Ibid hal. 119.
[6]
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum,
ctk, kedua, Gramata Publishing, Bekasi, 2012, hal. 165.
[7]
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi
Hukum Kajian Empiris……. Op cit. hal.
50.
[8]
Faisal, Menerobos,……… op cit hal 161.
[9]
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum
Progresif, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hal. 39.
[10]
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi
Kajian Empiris Terhadap Hukum, ctk. Pertama, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2012, hal. 2.
[11]
Ibid hal. 1.
[12]
Faisal, Menerobos,…….. op.cit hal.
162.
[13]
Ibid hal. 166.
[14]
FX. Adji Samekto, Justice Not For All
“Kritik Terhadap Hukum Modern dalam
Perspektif Studi Hukum Kritis”, ctk. Pertama, Genta Press, Yogyakarta,
2008, hal 34.
[15]
Fauzi Fashri, Penyikapan Kuasa Simbol;
Apropriasi Reflektif Pierre Bourdieu, ctk. Pertama, Juxtapose, Yogyakarta,
2007, hal. 19.
[16]
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum; Teori
Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, ctk. Pertama, UII Press,
Yogyakarta, 2005, hal. 48.
[17]
Faisal, Menerobos,……… op.cit hal. 185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar