Kamis, 17 Januari 2013

Tinjauan Yuridis Sosiologis atas putusan PK MA terhadap Hengky Gunawan


Putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dimohonkan oleh Hengky Gunawan kepada Mahkamah Agung (MA) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkhract) dimana permohonan PK Hengky Gunawan dikabulkan oleh Majelis Hakim yang kemudian mengubah pidana yang dijatuhkan yaitu dari pidana mati ke pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000 subsider selama 4 bulan kurungan. Namun disamping itu putusan yang telah menjadi hukum ini tidak kemudian serta-merta di lihat sebagai sebuah proses penegakan hukum yang mengedepankan kepastian hukum saja. Akan tetapi aspek yang tidak kalah penting adalah rasa keadilan yang timbul di masyarakat sebagai akibat dari sebuah putusan hukum, sehingga secara tinjauan sosiologis menjadi persoalan yang penting untuk dikaji sebagai wujud dari sebuah hukum yang baik, disamping aspek yuridis dan folosofis.

            Soerjono Soekanto berpendapat, ketika hukum akan ditinjau dan dilakukan penelitian dari prespektif sosiologis maka ada beberapa permasalahan yang akan menjadi sorotan bagi disiplin sosiologi hukum, diantaranya:
1.      Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat
Suatu sistem hukum merupakan pencerminan daripada sistem sosial dimana sistem hukum tadi merupakan bagiannya. Sistem sosial mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya, proses pengaruh-mempengaruhi tadi bersifat timbal balik.
2.   Persamaan-persamaan dan Perbedaan-perbedaan Sistem-sistem Hukum
Dengan diadakan penelitian terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku dalam satu masyarakat yang terdiri dari berbagai sistem sosial dengan masing-masing hukumannya. Misalnya di Indonesia dapat dilakukan penelitian perbandingan terhadap sistem hukum yang berlaku di berbagai daerah dan yang didukung oleh suku bangsa yang berlainan.
3.   Sifat Sistem Hukum yang Dualistis
Baik hukum substantif maupun hukum ajektif, di satu pihak berisikan ketentuan tentang bagaimana manusia akan dapat menjalankan serta memperkembangkan hak-haknya, mempertahankan hak-haknya, memperkembangkan kesamaan derajat manusia, menjamin kesejahteraannya, dll. Akan tetapi dilain pihak, hukum dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengendalikan warga masyarakat atau dapat dijadikan sarana oleh sebagian kecil warga masyarakat yang menamakan dirinya sebagai penguasa, untuk mempertahankan kedudukan sosial, ekonomi yang lebih tinggi dari bagian terbesar warga masyarakat.
4.   Hukum dan Kekuasaan
Ditinjau dari sudut ilmu politik, hukum merupakan suatu sarana elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyaknya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya, atau untuk menambah serta mengembangkannya. Baik-buruknya suatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan.
5.   Hukum dan Nilai-nilai Sosial-Budaya
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dan konkritisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Misalnya karena sulitnya aturan-aturan adat yang harus dipenuhi dalam perkawinan, maka kawin lari diantara orang-orang Lampung Pepadon merupakan suatu kebolehan.
Peraturan-peraturan mengenai tingkah laku manusia, dapat diketahui dari pitutur orang-orang tua yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
6.   Kepastian Hukum dan Kesebandingannya
Kepastian hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas pokok daripada hukum. Hal ini misalnya ditegaskan oleh Max Weber yang membedakan substantive rationality dan formal rationality. Dikatakan bahwa sistem hukum Barat mempunyai kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal rationality, artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan semacam itu sering kali bertentangan dengan aspek-aspek dari substantive rationality, yaitu kesebandingan bagi warga masyarakat secara individual. (Soerjono Soekanto, 2011:13)
                  Bahwa hukum dalam tinjauan sosiologis merupakan sebuah ilmu pengetahuan (sosiologi hukum) yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan pengaruh hukum terhadap gejala sosial yang lain itu. Untuk itu, agar permasalahan yang dikedepankan menemui titik terangnya dalam melibatkan aspek sosiologis dalam melihat suatu putusan hukum maka penting kiranya untuk dipaparkan kegunaan dari sosiologi hukum itu sendiri:
1.      Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial.
2.      Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk merubah masyarakat, dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
3.      Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum didalam masyarakat.
Kegunaan yang secara umum diatas dapat dijabarkan lagi secara terperinci:
1. Pada taraf organisasi dalam masyarakat
a.       Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan, pembentukan dan penegakkan hukum
b.      Dapat diidentifikasikannya unsur kebudayaan manakah yang mempengaruhi isi atau sunstansi hukum
c.       Lembaga manakah yang sangat berpengaruh didalam pembentukan hukum dan penegakannya.
      2. Pada taraf golongan dalam masyarakat
a.       Pengungkapan daripada golongan-golongan manakah yang sangat menentukan didalam pembentukan dan penerapan hukum
b.      Golongan manakah dalam masyarakat yang beruntung atau sebaliknya malahan dirugikan dengan adanya hukum-hukum tertentu
c.       Kesadaran hukum daripada golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.
3. Pada taraf individual
a.       Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perikelakuan warga masyarakat
b.      Kekuatan, keamampuan dan kesungguhan hati para penegak hukum dalam melaksanakan fungsinya
c.       Kepatuhan daripada warga masyarakat terhadap hukum, baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban hak-hak, maupun perilaku yang teratur. (Soerjono Soekanto.2011:26)
Disamping uraian prespektif sosiologi hukum diatas, penting juga untuk diuraikan tentang apa yang harus menjadi pertimbangan seorang Hakim dalam memutus sebuah perkara. Seorang hakim dalam melaksanakan tugasnya tidak terlepas dari masalah penafsiran hukum (interpretasi). Sehingganya menjadi penting diketahui bahwa sejauh mana Hakim memiliki wewenang dalam memutus sebuah perkara dihubungkan dengan perundang-undangan yang berlaku. Para sarjana dibidang hukum dari dahulu telah terjadi perbadaan pendapat, sehingga menimbulkan beberapa aliran terkait dengan permasalahan ini. Diantaranya:
1.      Aliran Legisme
2.      Aliran Begriffsjurisprudenz
3.      Aliran Interessenjurisprudenz
4.      Aliran Soziologische Rechtsschule
5.      Aliran sistem hukum terbuka
Ditengah pergulatan Indonesia dalam merekonstruksi hukum tanah air sehingga sejalan dengan tujuan bernegara, penting kiranya para kaum muda intelaktual penerus estafet perjuangan, melihat secara jeli, betapa terlalu kakunya sistem hukum kita sehingga hukum diibaratkan laksana “pisau dapur” yang hanya bisa tajam ketika dipotong kebawah, dan tumpul ketika diarahkan keatas. Putusan hakim yang dianggap menciderai rasa keadilan di tengah-tengah masyarakatpun seringkali kita temui.
Sejurus dengan pembahasan yang diketengahkan, bahwa ada putusan yang keluarkan oleh Mahkamah Agung yang dianggap mengotori nilai-nilai yang sementara hidup di masyarakat. Telah di sebutkan diatas bahwa dasar seorang Hakim dalam memutus sebuah perkara, ada dasar pertimbangan yang mestinya menjadi landasan bagi hakim dalam memberikan putusan itu. Seorang Hakim di dalam mengambil suatu keputusan hendaknya berdasarkan peraturan perundang-undangan, akan tetapi dalam keadaan tertentu, hakim dapat saja menyesuaikan keputusannya dengan asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, oleh karena yang demikian itulah yang disebut “hukum yang sebenarnya”` (Said Sampara,Dkk. 2009:194).
Dari uraian diatas berikut akan dipaparkan rangkaian mengenai putusan atas Hengky Gunawan mulai dari pengadilan negeri sampai dengan dikabulkannya PK Hengky. Sidang atas nama Hangky Gunawan dimulai di Pengadilan Negeri Surabaya, dimana Hangky didakwa dengan dakwaan berlapis yaitu sebanyak 5 dakwaan, selain diancam dengan UU No. 5 tahun 1997 yaitu telah memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi Psikotopika Golongan 1, yang telah melanggar Pasal 6, Hengky juga didakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang, yaitu pasal 6 ayat 1 sub b UU No. 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003. Pada Pengadilan tingkat pertama Hangky di pidana dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000 subidair selama 4 bulan kurungan. Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Surabaya menerima permintaan banding dari Jaksa/Penuntut Umum dan Penasehat Hukum Terdakwa, yang pada putusannya menjatuhkan pidana kepada Hangky dengan pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp. 600.000.000. Kemudian pada tahap kasasi MA menjatuhkan pidana pidana mati atas Hangky. Akhirnya Hangky melalui kuasa hukumnya mengajukan PK yang diterima oleh MA dengan alasan-alasan sebagai berikut :
  • Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berlaku umum bahwa mengenai berat ringannya/ukuran hukuman adalah menjadi wewenang judex facti, bukan wewenang judex juris (tidak tunduk pada kasasi);
  • Bahwa tujuan pemidanaan adalah bersifat edukatif, korektif dan preventif;
  • Bahwa untuk menjaga disparitas hukuman;
  • Bahwa mendasari Declaration of Human Right article 3 : “everyone has the right to life, liberty and security of person”. Bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.
  • Hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan melanggar pasal 4 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Inilah alasan yang mendasari dikabulkannya permohonan PK Hangky dan kemudian Majelis PK yang diketuai oleh M. Imron Anwari dengan hakim-hakim anggota H. Achmad Yamanie, SH.MH  dan  Prof. Dr. H.M Hakim Nyak Pha, SH.,DEA, membatalkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 455 K/Pid.Sus/2007, tanggal 28 November 2007 jo putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 256/Pid/2007/PT.SBY, tanggal 11 Juli 2007 jo putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.3412/Pid.B/2006/PN.SBY, tanggal 17 April 2006. Akhirnya majelis PK menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp. 500.000.000 subsidair selama 4 bulan kurungan. 
   Pada kesempatan ini bukanlah mengenai pembatalan hukuman mati nya akan dipermasalahkan tapi lebih kepada penegakan hukum yang telalu prosedural, hal ini dapat ditinjau dari alasan-alasan PK yang dibuat oleh Majelis PK itu sendiri yang masih mendasari pertimbangannya atas prosedur-prosedur hukum yang kaku dan formalistis itu terutama sekali alasan majelis PK yang terdapat pada point pertama diatas. Disini jelas terlihat bahwa hakim tidak ada keberanian untuk melihat hukum dari sisi-sisi lain yang berada diluar hukum.
Pada kesempatan ini penulis akan lebih fokus kepada pengadilan progresif yang ditawarkan oleh Satjipto Raharjo yang dikaitkan dengan kasasi. Sebagaimana umum kita ketahui bahwa pada tingkat kasasi pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan ditingkat bawah.
Sepintas prosedur yang demikian dengan mudah dipahami, bahwa yang diperlukan MA hanya membaca teks undang-undang dan menggunakan logika hukum belaka, dimana MA akan memeriksa apakah peraturan yang digunakan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sudah benar. Maka dengan prosedur yang sedemikian rupa tertutuplah ruang bagi penegakan hukum yang progresif. Tapi pada kasus Hangky ini berbeda, ketika majelis hakim MA sudah sampai pada keberanian untuk menegakkan hukum yang progresif tadi yaitu dengan turut memeriksa fakta dan menilai bukti yang ada pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, kandas juga di badan MA itu sendiri yaitu dengan diterimanya PK Hangky dengan alasan bahwa pada tingkat kasasi MA tidak berhak memberikan penilaian atas fakta.
Maka atas dasar itulah, penulis ingin mengajak rekan-rekan semua yang tergabung dalam kelas Sosiologi Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta untuk berdiskusi dan memberikan konstribusi positif dalam rangka penegakan hukum, terkhusus dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika yang merupakan suatu kejahatan yang terkategori sebagai extra ordinary crime, sehingga diperlukan cara-cara yang luar biasa pula dalam penanganannya, salah satunya dengan cara penegakan hukum yang progresif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar