Putusan Peninjauan
Kembali (PK) yang dimohonkan oleh Hengky Gunawan kepada Mahkamah Agung (MA)
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkhract)
dimana permohonan PK Hengky Gunawan dikabulkan oleh Majelis Hakim yang
kemudian mengubah pidana yang dijatuhkan yaitu dari pidana mati ke pidana
penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000 subsider selama 4
bulan kurungan. Namun disamping itu putusan yang telah menjadi hukum ini tidak
kemudian serta-merta di lihat sebagai sebuah proses penegakan hukum yang
mengedepankan kepastian hukum saja. Akan tetapi aspek yang tidak kalah penting
adalah rasa keadilan yang timbul di masyarakat sebagai akibat dari sebuah
putusan hukum, sehingga secara tinjauan sosiologis menjadi persoalan yang
penting untuk dikaji sebagai wujud dari sebuah hukum yang baik, disamping aspek
yuridis dan folosofis.
Soerjono Soekanto berpendapat, ketika hukum akan ditinjau
dan dilakukan penelitian dari prespektif sosiologis maka ada beberapa
permasalahan yang akan menjadi sorotan bagi disiplin sosiologi hukum,
diantaranya:
1. Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat
Suatu sistem hukum merupakan
pencerminan daripada sistem sosial dimana sistem hukum tadi merupakan
bagiannya. Sistem sosial mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya,
proses pengaruh-mempengaruhi tadi bersifat timbal balik.
Dengan diadakan penelitian terhadap
sistem-sistem hukum yang berlaku dalam satu masyarakat yang terdiri dari
berbagai sistem sosial dengan masing-masing hukumannya. Misalnya di Indonesia
dapat dilakukan penelitian perbandingan terhadap sistem hukum yang berlaku di
berbagai daerah dan yang didukung oleh suku bangsa yang berlainan.
3.
Sifat Sistem Hukum yang Dualistis
Baik hukum substantif maupun hukum
ajektif, di satu pihak berisikan ketentuan tentang bagaimana manusia akan dapat
menjalankan serta memperkembangkan hak-haknya, mempertahankan hak-haknya,
memperkembangkan kesamaan derajat manusia, menjamin kesejahteraannya, dll. Akan
tetapi dilain pihak, hukum dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengendalikan
warga masyarakat atau dapat dijadikan sarana oleh sebagian kecil warga
masyarakat yang menamakan dirinya sebagai penguasa, untuk mempertahankan
kedudukan sosial, ekonomi yang lebih tinggi dari bagian terbesar warga
masyarakat.
4.
Hukum dan Kekuasaan
Ditinjau dari sudut ilmu politik,
hukum merupakan suatu sarana elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyaknya
dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya, atau untuk
menambah serta mengembangkannya. Baik-buruknya suatu kekuasaan, tergantung dari
bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan.
5.
Hukum dan Nilai-nilai Sosial-Budaya
Hukum sebagai kaidah atau norma
sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat,
dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dan konkritisasi
dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Misalnya karena
sulitnya aturan-aturan adat yang harus dipenuhi dalam perkawinan, maka kawin
lari diantara orang-orang Lampung Pepadon merupakan suatu kebolehan.
Peraturan-peraturan mengenai tingkah
laku manusia, dapat diketahui dari pitutur orang-orang tua yang disampaikan
secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
6.
Kepastian Hukum dan Kesebandingannya
Kepastian hukum dan kesebandingan
merupakan dua tugas pokok daripada hukum. Hal ini misalnya ditegaskan oleh Max
Weber yang membedakan substantive
rationality dan formal rationality.
Dikatakan bahwa sistem hukum Barat mempunyai kecenderungan untuk lebih
menekankan pada segi formal rationality,
artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan semacam itu sering kali
bertentangan dengan aspek-aspek dari substantive
rationality, yaitu kesebandingan bagi warga masyarakat secara individual.
(Soerjono Soekanto, 2011:13)
Bahwa
hukum dalam tinjauan sosiologis merupakan sebuah ilmu pengetahuan (sosiologi
hukum) yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala
sosial lain terhadap hukum dan pengaruh hukum terhadap gejala sosial yang lain
itu. Untuk itu, agar permasalahan yang dikedepankan menemui titik terangnya
dalam melibatkan aspek sosiologis dalam melihat suatu putusan hukum maka
penting kiranya untuk dipaparkan kegunaan dari sosiologi hukum itu sendiri:
1. Sosiologi hukum berguna untuk
memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks
sosial.
2. Penguasaan konsep-konsep sosiologi
hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap
efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial,
sarana untuk merubah masyarakat, dan sarana untuk mengatur interaksi sosial
agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
3. Sosiologi hukum memberikan
kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap
efektivitas hukum didalam masyarakat.
Kegunaan
yang secara umum diatas dapat dijabarkan lagi secara terperinci:
1.
Pada taraf organisasi dalam masyarakat
a.
Sosiologi
hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan,
pembentukan dan penegakkan hukum
b.
Dapat
diidentifikasikannya unsur kebudayaan manakah yang mempengaruhi isi atau
sunstansi hukum
c.
Lembaga
manakah yang sangat berpengaruh didalam pembentukan hukum dan penegakannya.
2.
Pada taraf golongan dalam masyarakat
a.
Pengungkapan
daripada golongan-golongan manakah yang sangat menentukan didalam pembentukan
dan penerapan hukum
b.
Golongan
manakah dalam masyarakat yang beruntung atau sebaliknya malahan dirugikan
dengan adanya hukum-hukum tertentu
c.
Kesadaran
hukum daripada golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.
3.
Pada taraf individual
a.
Identifikasi
terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perikelakuan warga masyarakat
b.
Kekuatan,
keamampuan dan kesungguhan hati para penegak hukum dalam melaksanakan fungsinya
c. Kepatuhan daripada warga masyarakat
terhadap hukum, baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut
kewajiban-kewajiban hak-hak, maupun perilaku yang teratur. (Soerjono Soekanto.2011:26)
Disamping uraian prespektif sosiologi hukum diatas, penting
juga untuk diuraikan tentang apa yang harus menjadi pertimbangan seorang Hakim
dalam memutus sebuah perkara. Seorang hakim dalam melaksanakan tugasnya tidak
terlepas dari masalah penafsiran hukum (interpretasi). Sehingganya menjadi
penting diketahui bahwa sejauh mana Hakim memiliki wewenang dalam memutus
sebuah perkara dihubungkan dengan perundang-undangan yang berlaku. Para sarjana
dibidang hukum dari dahulu telah terjadi perbadaan pendapat, sehingga
menimbulkan beberapa aliran terkait dengan permasalahan ini. Diantaranya:
1. Aliran Legisme
2. Aliran Begriffsjurisprudenz
3. Aliran Interessenjurisprudenz
4. Aliran Soziologische Rechtsschule
5. Aliran sistem hukum terbuka
Ditengah pergulatan Indonesia dalam merekonstruksi hukum
tanah air sehingga sejalan dengan tujuan bernegara, penting kiranya para kaum
muda intelaktual penerus estafet perjuangan, melihat secara jeli, betapa
terlalu kakunya sistem hukum kita sehingga hukum diibaratkan laksana “pisau dapur” yang hanya bisa tajam
ketika dipotong kebawah, dan tumpul ketika diarahkan keatas. Putusan hakim yang
dianggap menciderai rasa keadilan di tengah-tengah masyarakatpun seringkali
kita temui.
Sejurus dengan pembahasan yang diketengahkan, bahwa ada putusan
yang keluarkan oleh Mahkamah Agung yang dianggap mengotori nilai-nilai yang
sementara hidup di masyarakat. Telah di sebutkan diatas bahwa dasar seorang
Hakim dalam memutus sebuah perkara, ada dasar pertimbangan yang mestinya
menjadi landasan bagi hakim dalam memberikan putusan itu. Seorang Hakim di
dalam mengambil suatu keputusan hendaknya berdasarkan peraturan
perundang-undangan, akan tetapi dalam keadaan tertentu, hakim dapat saja
menyesuaikan keputusannya dengan asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan
hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, oleh karena yang demikian itulah yang
disebut “hukum yang sebenarnya”` (Said Sampara,Dkk. 2009:194).
Dari uraian diatas berikut akan dipaparkan rangkaian
mengenai putusan atas Hengky Gunawan mulai dari pengadilan negeri sampai dengan
dikabulkannya PK Hengky. Sidang atas nama Hangky Gunawan dimulai di Pengadilan
Negeri Surabaya, dimana Hangky didakwa dengan dakwaan berlapis yaitu sebanyak 5
dakwaan, selain diancam dengan UU No. 5 tahun 1997 yaitu telah memproduksi
dan/atau menggunakan dalam proses produksi Psikotopika Golongan 1, yang telah
melanggar Pasal 6, Hengky juga didakwa telah melakukan tindak pidana pencucian
uang, yaitu pasal 6 ayat 1 sub b UU No. 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan
UU No. 25 Tahun 2003. Pada Pengadilan tingkat pertama Hangky di pidana dengan
pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000 subidair
selama 4 bulan kurungan. Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Surabaya
menerima permintaan banding dari Jaksa/Penuntut Umum dan Penasehat Hukum
Terdakwa, yang pada putusannya menjatuhkan pidana kepada Hangky dengan pidana
penjara selama 18 tahun dan denda Rp. 600.000.000. Kemudian pada tahap kasasi
MA menjatuhkan pidana pidana mati atas Hangky. Akhirnya Hangky melalui kuasa
hukumnya mengajukan PK yang diterima oleh MA dengan alasan-alasan sebagai
berikut :
- Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang berlaku umum bahwa mengenai berat ringannya/ukuran hukuman
adalah menjadi wewenang judex facti, bukan wewenang judex juris (tidak
tunduk pada kasasi);
- Bahwa tujuan pemidanaan adalah bersifat edukatif,
korektif dan preventif;
- Bahwa untuk menjaga disparitas hukuman;
- Bahwa mendasari Declaration of Human Right article 3 :
“everyone has the right to life, liberty and security of person”. Bahwa
setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai
individu.
- Hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945 dan melanggar pasal 4 Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang HAM.
Inilah alasan yang mendasari dikabulkannya permohonan PK
Hangky dan kemudian Majelis PK yang diketuai oleh M. Imron Anwari dengan
hakim-hakim anggota H. Achmad Yamanie, SH.MH
dan Prof. Dr. H.M Hakim Nyak Pha,
SH.,DEA, membatalkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 455
K/Pid.Sus/2007, tanggal 28 November 2007 jo putusan Pengadilan Tinggi Surabaya
No. 256/Pid/2007/PT.SBY, tanggal 11 Juli 2007 jo putusan Pengadilan Negeri
Surabaya No.3412/Pid.B/2006/PN.SBY, tanggal 17 April 2006. Akhirnya majelis PK
menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp.
500.000.000 subsidair selama 4 bulan kurungan.
Pada kesempatan ini
bukanlah mengenai pembatalan hukuman mati nya akan dipermasalahkan tapi lebih
kepada penegakan hukum yang telalu prosedural, hal ini dapat ditinjau dari
alasan-alasan PK yang dibuat oleh Majelis PK itu sendiri yang masih mendasari
pertimbangannya atas prosedur-prosedur hukum yang kaku dan formalistis itu
terutama sekali alasan majelis PK yang terdapat pada point pertama diatas.
Disini jelas terlihat bahwa hakim tidak ada keberanian untuk melihat hukum dari
sisi-sisi lain yang berada diluar hukum.
Pada kesempatan ini penulis akan lebih fokus kepada
pengadilan progresif yang ditawarkan oleh Satjipto Raharjo yang dikaitkan
dengan kasasi. Sebagaimana umum kita ketahui bahwa pada tingkat kasasi
pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan adalah
memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan ditingkat
bawah.
Sepintas prosedur yang demikian dengan mudah dipahami, bahwa
yang diperlukan MA hanya membaca teks undang-undang dan menggunakan logika
hukum belaka, dimana MA akan memeriksa apakah peraturan yang digunakan
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sudah benar. Maka dengan prosedur yang
sedemikian rupa tertutuplah ruang bagi penegakan hukum yang progresif. Tapi
pada kasus Hangky ini berbeda, ketika majelis hakim MA sudah sampai pada
keberanian untuk menegakkan hukum yang progresif tadi yaitu dengan turut
memeriksa fakta dan menilai bukti yang ada pada Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi, kandas juga di badan MA itu sendiri yaitu dengan diterimanya
PK Hangky dengan alasan bahwa pada tingkat kasasi MA tidak berhak memberikan
penilaian atas fakta.
Maka atas dasar itulah, penulis ingin mengajak rekan-rekan
semua yang tergabung dalam kelas Sosiologi Hukum Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta untuk berdiskusi dan memberikan konstribusi positif dalam
rangka penegakan hukum, terkhusus dalam tindak pidana narkotika dan
psikotropika yang merupakan suatu kejahatan yang terkategori sebagai extra ordinary crime, sehingga
diperlukan cara-cara yang luar biasa pula dalam penanganannya, salah satunya
dengan cara penegakan hukum yang progresif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar