Kamis, 05 Juli 2012

Pemimpin Defisit Legitimasi Politik dari Rakyat


Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dasar hukum dilaksanakannya pemilihan kepala daerah mulai dari gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara langsung dan demokratis oleh rakyat.


Dengan terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini maka pemilihan kepala daerah tidak lagi menganut sistem demokrasi perwakilan dimana yang memilih adalah DPRD yang merupakan representasi perwakilan rakyat, tetapi rakyatlah yang memilih secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. pengaturan pemilihan kepala daerah secara langsung ini diatur dalam pasal 56-119 UU No. 32 Tahun 2004.

Pada pasal 107 diatur bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, jika angka 50% ini tidak terpenuhi maka bagi pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Jika dalam hal ada dua pasangan calon yang perolehan suaranya sama tetapi melebihi 25%, maka penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang mampu memperoleh suara melebihi 25% maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Akhirnya pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua inilah yang nantinya akan dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Itulah sekilas gambaran mengenai pemilihan kepala daerah yang diatur oleh undang-undang, jika kita cermati pembuat undang-undang sebenarnya sudah memikirkan agar pemilihan kepala daerah ini sedapat mungkin hanya berlangsung dalam satu putaran untuk mengefisiensikan penggunaan anggaran negara. Hal ini terlihat bahwa jika ada pasangan calon yang memperoleh suara 25% lebih dan itu adalah jumlah terbanyak dari pasangan calon lain maka pasangan calon yang dimaksud akan dinyatakan sebagai yang terpilih.

Kemudian muncul berbagai pendapat agar pemilihan kepala daerah hanya dilakukan satu putaran saja, jadi pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak otomatis dinyatakan sebagai pemenang  berapapun perolehan suara yang diperolehnya, pertimbangannya adalah agar pemilu yang dilakukan lebih efisien.

Sebatas untuk mengefisiensikan biaya, mengenai pendapat yang berkembang agar pemilihan kepala daerah dilakukan satu putaran dapat dipahami dan dimengerti. Kemudian bagaimana dengan legitimasi kepala daerah yang dihasilkan dari pemilihan satu putaran itu? Apakah bisa kepala daerah yang dimaksud memimpin daerahnya sedangkan kepemimpinannya defisit legitimasi politik dari rakyat? Bagaimana mungkin pemimpin yang hanya didukung 25% plus seperti yang diamanatkan Undang-undang bisa memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyatnya apalagi wacana yang menginginkan pemilihan kepala daerah dalam satu putaran yang bisa saja perolehan suaranya kurang dari 25% dari suara pemilih. Jika pemilihan satu putaran ini tetap dipaksakan pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang lemah legitimasi dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal antar pendukung, yang pada akhirnya menambah kerugian dan penderitaan masyarakat daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar