Perubahan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah menjadi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dasar hukum dilaksanakannya
pemilihan kepala daerah mulai dari gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara
langsung dan demokratis oleh rakyat.
Dengan
terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini maka pemilihan
kepala daerah tidak lagi menganut sistem demokrasi perwakilan dimana yang
memilih adalah DPRD yang merupakan representasi perwakilan rakyat, tetapi
rakyatlah yang memilih secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. pengaturan pemilihan kepala daerah secara
langsung ini diatur dalam pasal 56-119 UU No. 32 Tahun 2004.
Pada
pasal 107 diatur bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai
pasangan calon terpilih, jika angka 50% ini tidak terpenuhi maka bagi pasangan
calon yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah terbesar
dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Jika dalam hal ada dua pasangan
calon yang perolehan suaranya sama tetapi melebihi 25%, maka penentuan pasangan
calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Dalam
hal tidak ada pasangan calon yang mampu memperoleh suara melebihi 25% maka
dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Akhirnya pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua inilah yang nantinya akan
dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Itulah
sekilas gambaran mengenai pemilihan kepala daerah yang diatur oleh
undang-undang, jika kita cermati pembuat undang-undang sebenarnya sudah
memikirkan agar pemilihan kepala daerah ini sedapat mungkin hanya berlangsung
dalam satu putaran untuk mengefisiensikan penggunaan anggaran negara. Hal ini
terlihat bahwa jika ada pasangan calon yang memperoleh suara 25% lebih dan itu
adalah jumlah terbanyak dari pasangan calon lain maka pasangan calon yang
dimaksud akan dinyatakan sebagai yang terpilih.
Kemudian
muncul berbagai pendapat agar pemilihan kepala daerah hanya dilakukan satu
putaran saja, jadi pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak otomatis
dinyatakan sebagai pemenang berapapun perolehan
suara yang diperolehnya, pertimbangannya adalah agar pemilu yang dilakukan
lebih efisien.
Sebatas
untuk mengefisiensikan biaya, mengenai pendapat yang berkembang agar pemilihan
kepala daerah dilakukan satu putaran dapat dipahami dan dimengerti. Kemudian bagaimana
dengan legitimasi kepala daerah yang dihasilkan dari pemilihan satu putaran
itu? Apakah bisa kepala daerah yang dimaksud memimpin daerahnya sedangkan
kepemimpinannya defisit legitimasi politik dari rakyat? Bagaimana mungkin pemimpin
yang hanya didukung 25% plus seperti yang diamanatkan Undang-undang bisa memperoleh
legitimasi yang kuat dari rakyatnya apalagi wacana yang menginginkan pemilihan
kepala daerah dalam satu putaran yang bisa saja perolehan suaranya kurang dari
25% dari suara pemilih. Jika pemilihan satu putaran ini tetap dipaksakan
pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang lemah legitimasi dan berpotensi
menimbulkan konflik horizontal antar pendukung, yang pada akhirnya menambah
kerugian dan penderitaan masyarakat daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar