Seperti
yang pernah dibahas mengenai kolaborasi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor) dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), maka
kesempatan ini saya coba bahas mengenai penggunaan UU TPPU terhadap kasus
Nazaruddin dalam rangka membongkar kasus korupsi.
Baru-baru
ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat banyak apresiasi dari berbagai
kalangan atas keberaniannya menjerat Nazaruddin dengan menggunakan UU TPPU, terhadap
kasus pembelian saham maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia. Penggunaan
UU TPPU ini sendiri didasarkan pada dugaan KPK bahwa uang yang digunakan
Nazaruddin melalui Grup Permai untuk membeli saham Garuda berasal dari tindak
pidana korupsi.
Nazaruddin
dalam kasus pencucian uang dijerat dengan pasal 3 atau pasal 4 junto pasal 6 UU
No. 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang. Yang mana perbuatan Nazaruddin atau badan hukum permai grup adalah suatu
perbuatan yang menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Atas
pasal yang disangkakan maka dapat diketahui bahwa yang diincar oleh KPK adalah
perbuatan hukum Nazaruddin atau badan hukum Permai Grup yang membeli saham Garuda
oleh lima anak perusahaan Permai Grup diantaranya, PT. Permai Raya Wisata, PT.
Carkrawaja Abadi, PT Exartech
Technology, PT Pacific Putra Metropolitan, dan PT Darmakusuma. Pembelian
itu sendiri dilakukan dari keuntungan permai grup atas proyek proyek di pemerintah
yang salah satunya adalah proyek wisma atlet Sea Games yang diketahui atau
patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana korupsi.
Sampai
disini saya dapat memahami bahwa tindakan KPK menjerat Nazaruddin menggunakan
UU TPPU bermanfaat dalam rangka mengembalikan uang negara atau aset negara serta
memiskinkan koruptor. Karena jika terbukti benar bahwa perbuatan hukum Nazaruddin
atau badan hukum Permai Grup adalah tindak pidana pencucian uang, maka sanksi pidana
yang diancamkan khusus untuk Permai Grup yang dalam hal ini adalah Korporasi
ada 2 yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yaitu denda paling
banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pidana tambahan yaitu
berupa, 1. Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi, 2. Pencabutan
izin usaha, 3. Pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi, 4. Perampasan aset
Korporasi untuk negara, 4. Pegambilalihan Korporasi oleh negara (pasal 7 ayat 1
dan 2 UU No. 8 Tahun 2010).
Dari
pasal yang digunakan KPK tergambar jelas disini terarah pada Korporasi (permai
grup) dan Nazaruddin yaitu perbuatan hukum dari Permai grup atau personil atau
pengendali Korporasi (Nazaruddin) yang membeli saham Garuda. Pembelian mana
diketahui atau patut diduga berasal dari duit korupsi.
Kemudian pertanyaan yang muncul kemanakah akan diarahkan UU TPPU yang dijeratkan kepada Nazaruddin ini apakah
hanya terbatas pada Korporasi (Permai Grup) atau Nazaruddin sebagai personil
atau pengendali Korporasi atau akan terus dikembangkan kepada pelaku pasif
seperti yang dimaksud dari UU TPPU. Jika hanya ditujukan pada Permai Grup dan Nazaruddin,
maka menurut hemat saya gagal lah sebagian dari tujuan awal dibentuknya UU TPPU
ini yaitu untuk menjerat penerima sebagai pelaku pasif maupun fasilitator dalam rangka membongkar kasus korupsi.
Seharusnya
UU TPPU ini juga mampu menjerat setiap orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penititipan, penukaran,
atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana yang dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi. Semoga saja
penerapan UU TPPU ini mampu seperti apa yang diharapkan yaitu menjerat banyak lagi pelaku korupsi yang terlibat, menjerat pelaku aktif, pelaku pasif, maupun yang ikut menikamati hasil
dari tindak pidana pencucian uang korupsi seperti yang dimaksud dalam UU TPPU,
dalam rangka pembongkaran kasus korupsi dan pengembalian aset negara yang dikorup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar