Sabtu, 02 Juni 2012

Yurisprudensi Sesat


Yurisprudensi adalah putusan putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap yang diikuti hakim lain dalam memutus perkara yang sama. Yurisprudensi hadir untuk menyelaraskan Undang Undang dengan keadaan masyarakat dengan cara penafsiran jika peraturan tidak jelas atau mengkonstruksi hukum jika UU tidak mengaturnya yang berfungsi untuk mengisi kekosongan hukum. Kemudian timbul masalah ketika yurisprudensi lahir atas sesuatu yang telah diatur secara jelas dalam UU, contohnya putusan bebas (vrijspraak) yang tidak bisa dimintakan kasasi oleh Jaksa. Tapi karena adanya Yurisprudensi yang membenarkan Jaksa memajukan kasasi terhadap putusan bebas akhirnya Jaksa selalu mengajukan kasasi atas putusan bebas dangan mengacu pada yurisprudensi tadi. Yurisprudensi semacam ini bukannya untuk mengisi kekosongan hukum tapi malah merusak hukum itu sendiri dengan cara penafsiran sesat.


Kanapa saya katakan penafsiran sesat, ini berdasar pada UU itu sendiri dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jelas sudah dinyatakan bahwa terhadap putusan bebas Jaksa tidak dapat mengajukan kasasi ini tertuang dalam pasal 244 KUHAP hal ini jelas sudah dan tidak ada lagi peluang untuk menafsirkan lain dari pada itu. Oleh karena adanya yurisprudensi yang memberi peluang kepada Jaksa untuk memajukan kasasi terhadap putusan bebas, maka yurisprudensi inilah yang selalu dijadikan dalil oleh Jaksa untuk mengajukan kasasi kepada MA.

Untuk lebih memahami sesatnya yurisprudensi ini ada baiknya kita pahami lebih dalam pertimbangan apa yang digunakan oleh MA dalam menerima kasasi Jaksa terhadap putusan bebas yang dikemudian hari menjadi yurisprudensi yang saya katakan yurisprudensi sesat. Yurisprudensi sesat ini lahir pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275 K/Pid/1983 dalam kasus Natalegawa. Yurisprudensi sesat ini juga tidak terlepas dari peluang yang diberikan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Pada angka 19 dalam Lampiran tersebut ditegaskan terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.  Atas dasar peluang inilah MA untuk pertama kalinya menerima kasasi Jaksa terhadap putusan bebas pada kasus Natalegawa yang pada akhirnya dijadikan rujukan oleh Jaksa untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Hal mendasar yang menjadi pertimbangan MA menerima kasasi yang diajukan Jaksa terhadap putusan bebas adalah dengan membagi putusan bebas itu menjadi dua yaitu putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni. Penafsiran MA terhadap putusan murni adalah jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah, sedangkan putusan bebas dikatakan tidak murni apabila putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan, atau putusan pengadilan terbukti melampaui wewenangnya, karena dianggap putusan bebas tidak murni maka MA menerima kasasi dari Jaksa. Untuk penafsiran MA yang membagi putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni ini, lagi lagi saya katakan panafsiran semacam ini adalah sesat karena dalam KUHAP tidaklah mengenal adanya putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni seperti yang ditafsirkan MA tersebut. Berikut petikan lengkap pasal 244 KUHAP  “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal ini merupakan landasan hukum untuk melakukan upaya hukum kasasi di dalam perkara pidana, bila kita perhatikan kata demi kata dari pasal ini tidak terdapat kata bebas murni atau bebas tidak murni.

Jika yurisprudensi ini terus dibiarkan dan dijadikan dasar hukum oleh Jaksa untuk mangajukan kasasi atas putusan bebas yang jelas-jelas dilarang dalam KUHAP maka tindakan MA yang menerima kasasi tersebut adalah inkonstitusional, maka sebaiknya produk hukum MA yurisprudensi ini harus di review demi terjaganya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain daripada itu dalil yang digunakan Jaksa untuk memajukan kasasi terhadap putusan bebas bertentangan dengan TAP MPR RI No. III tahun 2000 tentang Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia yang tidak mencantumkan yurisprudensi didalamnya. Selain itu juga bertentangan dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex Superior derogate legi lex inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kedudukannya). Maka dengan demikian sudah saatnya kedudukan yurisprudensi harus ditertibkan kepada tujuan semula yaitu untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau peraturan perundang undangan yang secara tegas mengaturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar