Yurisprudensi
adalah putusan putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap yang
diikuti hakim lain dalam memutus perkara yang sama. Yurisprudensi hadir untuk
menyelaraskan Undang Undang dengan keadaan masyarakat dengan cara penafsiran
jika peraturan tidak jelas atau mengkonstruksi hukum jika UU tidak mengaturnya
yang berfungsi untuk mengisi kekosongan hukum. Kemudian timbul masalah ketika
yurisprudensi lahir atas sesuatu yang telah diatur
secara jelas dalam UU, contohnya putusan bebas (vrijspraak) yang tidak bisa dimintakan kasasi oleh Jaksa. Tapi
karena adanya Yurisprudensi yang membenarkan Jaksa memajukan kasasi terhadap
putusan bebas akhirnya Jaksa selalu mengajukan kasasi atas putusan bebas dangan
mengacu pada yurisprudensi tadi. Yurisprudensi semacam ini bukannya untuk
mengisi kekosongan hukum tapi malah merusak hukum itu sendiri dengan cara
penafsiran sesat.
Kanapa saya katakan penafsiran sesat, ini
berdasar pada UU itu sendiri dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
jelas sudah dinyatakan bahwa terhadap putusan bebas Jaksa tidak dapat
mengajukan kasasi ini tertuang dalam pasal 244 KUHAP hal ini jelas sudah dan
tidak ada lagi peluang untuk menafsirkan lain dari pada itu. Oleh karena adanya
yurisprudensi yang memberi peluang kepada Jaksa untuk memajukan kasasi terhadap
putusan bebas, maka yurisprudensi inilah yang selalu dijadikan dalil oleh Jaksa
untuk mengajukan kasasi kepada MA.
Untuk lebih memahami sesatnya yurisprudensi
ini ada baiknya kita pahami lebih dalam pertimbangan apa yang digunakan oleh MA
dalam menerima kasasi Jaksa terhadap putusan bebas yang dikemudian hari menjadi
yurisprudensi yang saya katakan yurisprudensi sesat. Yurisprudensi sesat ini
lahir pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275
K/Pid/1983 dalam kasus Natalegawa. Yurisprudensi sesat ini juga tidak terlepas
dari peluang yang diberikan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri
Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan
KUHAP. Pada angka 19 dalam Lampiran tersebut ditegaskan terhadap putusan bebas
tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka
demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan
kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Atas dasar peluang inilah MA untuk pertama
kalinya menerima kasasi Jaksa terhadap putusan bebas pada kasus Natalegawa yang
pada akhirnya dijadikan rujukan oleh Jaksa untuk mengajukan kasasi terhadap
putusan bebas. Hal mendasar yang menjadi pertimbangan MA menerima kasasi yang
diajukan Jaksa terhadap putusan bebas adalah dengan membagi putusan bebas itu
menjadi dua yaitu putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni. Penafsiran
MA terhadap putusan murni adalah jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa
sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah, sedangkan putusan bebas dikatakan
tidak murni apabila putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru
terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan, atau putusan pengadilan terbukti
melampaui wewenangnya, karena dianggap putusan bebas tidak murni maka MA
menerima kasasi dari Jaksa. Untuk penafsiran MA yang membagi putusan bebas
murni dan putusan bebas tidak murni ini, lagi lagi saya katakan panafsiran
semacam ini adalah sesat karena dalam KUHAP tidaklah mengenal adanya putusan
bebas murni dan putusan bebas tidak murni seperti yang ditafsirkan MA tersebut.
Berikut petikan lengkap pasal 244 KUHAP “terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas”. Pasal ini merupakan landasan hukum untuk melakukan upaya hukum
kasasi di dalam perkara pidana, bila kita perhatikan kata demi kata dari
pasal ini tidak terdapat kata bebas murni atau bebas tidak murni.
Jika yurisprudensi ini terus dibiarkan dan
dijadikan dasar hukum oleh Jaksa untuk mangajukan kasasi atas putusan bebas
yang jelas-jelas dilarang dalam KUHAP maka tindakan MA yang menerima kasasi
tersebut adalah inkonstitusional, maka
sebaiknya produk hukum MA yurisprudensi ini harus di review demi terjaganya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain daripada
itu dalil yang digunakan Jaksa untuk memajukan kasasi terhadap putusan bebas
bertentangan dengan TAP MPR RI No. III tahun 2000 tentang Tertib Hukum yang
berlaku di Indonesia yang tidak mencantumkan yurisprudensi didalamnya. Selain
itu juga bertentangan dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex Superior derogate legi lex inferiori (asas yang menegaskan
bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih
rendah kedudukannya). Maka dengan demikian sudah saatnya kedudukan yurisprudensi
harus ditertibkan kepada tujuan semula yaitu untuk mengisi kekosongan hukum
ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau
peraturan perundang undangan yang secara tegas mengaturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar