A. PENDAHULUAN
Korupsi
mempunyai banyak pengertian, tinggal tergantung pada siapa yang memandang dan
dari sudut mana. Namun demikian dalam bahasa hukum positif (undang-undang No.
31 tahun 1999 jo undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi), korupsi berarti perbuatan setiap orang baik pemerintah maupun swasta
yang secara melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Korupsi
adalah suatu perbuatan yang sudah lama dikenal di dunia dan di Indonesia.
Dampak dari korupsi ini sangatlah luas, tetapi akibat yang ditimbulkan dari
tindak pidana korupsi ini tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, namun
demikian akibat tidak langsung ini merupakan bahaya laten yang pada akhirnya
bisa membuat kehidupan berbangsa dan bernegara ini hancur, begitu dahsyatnya
bahaya korupsi ini sehingga kita harus selalu waspada. Telah banyak aturan yang
dibentuk dan telah ada pula badan khusus yang menangani tindak pidana korupsi
namun koruptor masih saja ada disetiap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara kita.
Sebab
utama terjadinya korupsi adalah adanya nafsu untuk selalu hidup mewah melalui
jalan pintas, hanya semata-mata ingin memandang status sosial dan realitas ini
banyak dilakukan oleh kalangan orang yang menjadi pejabat negara atau orang
yang mempunyai kekuasaan. Realitas ini tentunya telah menghancurkan sistem
sosial budaya masyarakat, karena kehidupan yang normal menjadi abnormal dan
yang abnormal menjadi normal.
Korupsi
nyaris menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, dan telah pula
ditetapkan sebagai negara terkorup oleh lembaga internasional, namun gelar
negara terkorup ternyata tak mampu memberi pengaruh apa-apa bagi para
penyelenggara negara untuk segera membasmi korupsi. Ketidakberdayaan para
penyelenggara negara untuk membasmi korupsi ini memunculkan ungkapan yang
sangat memalukan “bukan main susahnya mengatasi persoalan korupsi di Indonesia
dan bukan main pula nyamannya jadi koruptor di Negeri ini”
Dampak
dari korupsi ini sangat besar terhadap rusaknya tatanan sosial, ekonomi,
politik dan hukum. Salah satu dampak dari korupsi yang sangat tinggi yaitu
terhadap pola prilaku masyarakat, perilaku korup akan membangun mental
masyarakat yang hipokrit yang termanifestasikan dalam bentuk sikap
“mumpungisme” hal itu jelas akan merusak mental bangsa ini, bangsa yang penuh
dengan korupsi potensial melahirkan generasi yang bermental dangkal, perilaku
“ikhlas” tanpa pamrih akan sangat jarang ditemukan dalam kondisi seperti ini.
Perilaku korup juga potensial membangun mental penjilat dan mendidik masyarakat
untuk menjadi penipu.[1] Dari dampak yang terlihat
jelas bagaimana korupsi mampu mengubah pandangan hidup masyarakat yang penuh
semangat kekeluargaan menjadi masyarakat berfaham kebendaan. Masyarakat yang
suka menolong berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih setiap
membantu yang lain. Perubahan pola sikap yang demikian membawa ruang tersendiri
pada korupsi untuk menjadi bagian dari sistem sosial kita.[2]
Terhadap
akibat yang muncul atas perbuatan korupsi yang sangat luar biasa diatas, maka
korupsi dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa / extra ordinary crima. Oleh karena itu tindakan pemberantasannya
juga harus luar biasa pula. Telah bebagai usaha yang dilakukan untuk
memberantas tindak pidana korupsi diantaranya melalui peraturan
perundang-undangan yaitu UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU
No. 20 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Yang mana dalam
UU ini telah diperluasnya definisi “secara melawan hukum”, yang pada mulanya
hanya diartikan secara formil yaitu suatu tindakan dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi kalau perbuatan itu telah diatur dalam
perundang-undangan secara tertulis, kemudian definisi “secara melawan hukum”,
diperluas tidak hanya karena melawan peraturan perundang-undangan namun apabila
perbuatan itu merugikan rakyat dan melawan rasa keadilan masyarakat (secara
materiil) maka bisa juga dijerat dengan UU korupsi. Kemudian masih dalam UU
Tipikor ini, juga diatur mengenai beban pembuktian yang memungkinkan beban
pembuktian dibebankan kepada terdakwa atau yang lebih dikenal dengan sebutan
sistem pembuktian terbalik. Hal ini adalah menyimpangi atau sebagai
perkecualian dari hukum pembuktian umum, seperti yang diatur dalam kodifikasi.[3] Selain membentuk UU
pemberantasan tindak pidana korupsi juga di bentuk suatu lembaga superbody yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan kewenangan istimewa sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
B. PERUMUSAN
MASALAH
Itulah beberapa upaya yang telah dilakukan
pemerintah dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi, namun berbagai upaya
yang telah dilakukan ternyata tidak cukup mampu mengatasi bahaya laten korupsi
di Negeri ini. Ketidakberdayaan hukum dalam meyelesaikan keanegaragaman
persoalan hukum terutama persoalan korupsi ini, maka pemakalah akan mencoba
untuk melihatnya dari perspektif sosiologi hukum yaitu peran dan kedudukan
sosiologi hukum dalam rangka penegakan hukum.
C. PEMBAHASAN
Ketika hukum sudah tidak berdaya menghadapi
tindak pidana korupsi, maka akan muncul suatu pertanyaan besar bagaimana
penegakan hukum itu ditegakkan. Guna menjawab pertanyaan demikian kita tidak
bisa selalu bersandar pada penegakan hukum yang legalistik positivisme, tapi
kita harus menjawabnya dari sisi-sisi lain dari hukum, salah satunya kita bisa
menjawabnya dengan menggunakan optik sosiologi hukum.
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu yang
kajiannya bersifat empiris, yang mana memandang hukum sebagai kenyataan, kajian
empiris mengkaji law in action, yang
dunianya adalah das sein (apa
kenyataannya). Maka ketika kita membahas persoalan korupsi, kita tidak akan
membahas pasal undang-undangnya, tetapi mempertanyakan bagaimana korupsi dalam
kenyataannya. Yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan empiris, mengapa
korupsi masih merajalela dan sangat sulit pemberantasannya, kekuatan sosial apa
yang ada di belakangnya, faktor-faktor non hukum apa menjadi penyebabnya.
Itulah sebabnya mengapa sering juga dikatakan bahwa kajian filsafat hukum
membawa kita “melangit”, sementara kajian empiris membawa kita membumi.[4]
Ketika kita mempelajari hukum dalam
kenyataannya yang demikian itu, maka harus keluar dari batas-batas peraturan
hukum dan mengamati praktik-praktik dan / atau hukum sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang di dalam masyarakat. Pengkajian hukum yang seperti inilah yang
disebut pendekatan yuridis empiris.[5]
Salah satu kajian empiris terhadap korupsi
ini kita akan melihat sebab-sebab terjadinya korupsi. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya korupsi, yang dapat diklasifikasikan menjadi faktor
internal dan faktor eksternal[6] :
1. Faktor
internal
Yang dimaksud dengan faktor internal adalah
faktor yang ada dalam diri seseorang pemegang kekuasaan yang mendorong untuk
melakukan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan atau kelompok,
baik keuntungan secara ekonomi maupun keuntungan secara politik. Faktor
internal ini bisa terjadi karena orang dalam keadaan terpaksa, karena gaji
tidak mencukupi kebutuhan. Namun juga dapat terjadi karena kerakusan dan
menumpuk-numpuk materi.
Dorongan untuk penyalahgunaan kekuasaan /
korupsi karena kerakusan tersebut dapat disebabkan karena renggangnya
nilai-nilai sosial keagamaan dan budaya masyarakat, yang tergantikan dengan
nilai-nilai Hedonisme, Materialisme, Pragmatisme dan Konsumerisme.
2. Faktor
eksternal
Yang dimaksud dengan faktor eksternal ini
adalah adanya sistem pemerintahan yang memang memberikan kesempatan kepada
pemegang kekuasaan untuk melakukan korupsi.
Setelah mengetahui sebab-sebab orang
melakukan korupsi maka pandangan akan kita alihkan kepada bagaimana proses
penegakan hukumnya. Ketika kita akan melihat penegakan hukum maka tidak akan
terlepas pada pengadilan sebagai suatu lembaga penegakan hukum dan orang-orang
yang ada dalam lembaga pengadilan tersebut.
Persoalan Peradilan di Indonesia sangat
menarik hal ini disebabkan bukan karena baiknya proses peradilan tersebut,
tetapi karena buruknya image pengadilan
di mata publik Indonesia dan dunia Internasional.
Adalah hal yang biasa ketika suatu kasus
korupsi yang dilakukan oleh tokoh masyarakat atau penyelenggara negara yang
jumlah nya milyaran rupiah trilyunan bahkan, tetapi terhadap mereka-mereka yang
korup itu hanya dipidana ringan-ringan saja. Tetapi bisa kita bandingkan
terhadap masyarakat biasa yang mencuri ayam hukuman yang ditimpakan padanya
hukuman maksimal.
Untuk memberantas korupsi di Bumi Indonesia,
para penegak hukum, termasuk hakim seyogianya mengikuti filosofi almarhum Prof.
Dr. Burhanuddin Lopa, S.H., bahwa yang harus disidik lebih awal dan jika terbukti
dihukum seberat-beratnya adalah “orang-orang besar”, hal itu dibutuhkan bagi
rakyat kecil, bahwa mereka harus mempercayai law enforcement karena law
enforcement memang tidak membeda-bedakan orang. Bahkan hukuman yang lebih
berat harus ditimpakan kepada “tokoh-tokoh masyarakat” yang melakukan kejahatan
yang sama dengan mereka yang “bukan tokoh”. Mengenai hal ini kita bisa belajar
kepada Hongkong, dimana langkah yang harus diprioritaskan adalah frying big fish alias “menggoreng ikan
kakap”.
Harry C. Bredemeier memandang bahwa tugas
pengadilan adalah untuk membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dan
gangguan terciptanya kerja sama. Untuk melaksanakan tugasnya itu, pengadilan
membutuhkan tiga keadaan, atau di dalam istilah yang digunakan oleh Parsons dan
koleganya, pengadilan bergantung pada tiga jenis masukan (input), masing-masing:[7]
- Pengadilan
membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab akibat.
- Pengadilan
membutuhkan suatu konsep dari apa yang oleh “pembagian kerja” adalah “for”; apa tujuan dari sistem-sistem
yang ada, apa usaha negara untuk menciptakan atau mempertahankan
pelaksanaan kekuasaan.
- Pengadilan
membutuhkan suatu kemauan dari para pihak untuk menggunakan pengadilan
sebagai mekanisme penyelesain konflik mereka.
Setelah
kita melihat pengadilan dan hakim-hakim yang tergabung didalamnya, tentunya
kita bertanya-tanya kenapa sekian banyak putusan pengadilan yang terkait dengan
para koruptor ini tidak serta merta membuat tingkat korupsi di negara ini
lantas menurun. Maka hal ini tidak akan terlepas pada pertanyaan seberapa jauh
pengaruh putusan pengadilan terhadap efektifitas hukum. Putusan pengadilan
dapat mempengaruhi efektif atau tidaknya suatu aturan hukum, merupakan
persoalan yang cukup penting dibahas dari optik empiris.
Satjipto
Rahardjo menuliskan bahwa, para hakim termasuk orang-orang profesional yang
bekerja dengan diam-diam. Lingkungan dan suasana kerja hakim adalah suasana
yang tenang dan tenteram, sangat berbeda dengan komponen peradilan yang lain,
seperti polisi. Pekerjaan memeriksa dan mengadili lebih banyak mengarahkan
kemampuan intelektual daripada otot. Tetapi, ternyata kelirulah kita jika
berpendapat, bahwa pekerjaan profesional yang penuh dengan ketenangan itu tidak
dapat menghasilkan suatu keguncangan besar, suatu perubahan sosial.[8]
Dari
apa yang dituliskan oleh Satjipto Rahardjo di atas, dapat dipahami bahwa
semenjak kita mengubah pandangan logis yang hanya memandang hakim sekedar
“terompet undang-undang”, maka sejak itu kita tidak lagi memandang hakim
sebagai pelaksana hukum, tetapi hakim sudah membuat hukum (judge made law) yaitu putusannya. Dengan kata lain, putusan hakim
adalah hukum.
Para
hakim melalui putusannya, seyogianya tidak menjatuhkan putusan-putusan yang
tidak membumi, dalam arti sama sekali jauh dari kebutuhan masyarakatnya. Di
saat suatu jenis kejahatan tertentu sedang marak-maraknya, lantas hakim hanya
menjatuhkan sanksi pidana minimal terhadap para pelaku jenis kejahatan itu, mau
tidak mau mempengaruhi sikap warga masyarakat, yakni tidak ngeri untuk juga
melakukan jenis kejahatan itu, dan bagi yang sudah pernah melakukannya akan
menjadi tidak jera untuk melakukannya lagi. Seharusnya para hakim benar-benar
mewujudkan harapan yang terkandung dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman (UU Nomor 48 Tahun 2009) yang menginginkan hakim dalam memutus,
senantiasa memerhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya.[9]
Maka
sudah sewajarnyalah hakim menjatuhkan vonis yang berat terhadap para koruptor,
agar dapat membuat pelaku jera dan membuat warga masyarakat lain terutama para
penyelenggara negara negeri ini berpikir ulang untuk melakukan perbuatan
korupsi.
Namun
dari segi sosiologi hukum, sekalipun pasal yang menjadi dasar dari putusan
hakim adalah pasal yang sama, tetapi bersalah tidaknya terdakwa, berat ringannya
vonis hakim, masih tergantung berbagai faktor yang sifatnya nonhukum, seperti
yang dikemukakan oleh Chambliss dan Seidmann (1971: 28-35), yaitu:[10]
1. Cara
perkara itu tiba di pengadilan,
2. Sumber-sumber
yang dianut oleh hakim,
3. Atribut-atribut
pribadi hakim,
4. Sosialisasi
profesional hakim,
5. Tekanan-tekanan
keadaan terhadap hakim,
6. Tekanan-tekanan
keorganisasian terhadap hakim,
7. Alternatif-alternatif
peraturan yang dapat digunakan.
Dengan
semakin meningkatnya kejahatan korupsi ini dan semakin banyaknya para penyelenggara
negara yang terjerat kasus korupsi, baik yang berasal dari non partai ataupun
dari kalangan partai yang memangku jabatan-jabatan tertentu di lembaga,
eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Maka sosiologi hukum juga sangat berperan
dalam upaya sosialisasi hukum demi untuk meningkatkan kesadaran hukum yang
positif, baik dari warga masyarakat secara keseluruhan, maupun dari kalangan
penegak hukum.
Sebagaimana
diketahui bahwa kesadaran hukum ada dua macam:[11]
1. Kesadaran
hukum positif, identik dengan ketaatan hukum,
2. Kesadaran
hukum negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum
Istilah
kesadaran hukum digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk mengacu ke cara-cara
di mana orang-orang memaknakan hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu,
pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan
orang-orang.
Selain
daripada kesadaran hukum sosiologi hukum juga berperan dalam kajian empirisnya
untuk mengetahui mengenai jenis-jenis ketaatan kepada hukum. Ketaatan hukum
dapat dibedakan kualitasnya dalam tiga jenis, seperti yang dikemukakan oleh
H.C. Kelman:[12]
1. Ketaatan
yang bersifat compliance, yaitu jika
seseorang menaati suatu aturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan
ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
2. Ketaatan
yang bersifat identification, yaitu
jika seseorang manaati aturan, hanya karena ia takut hubungan baiknya dengan
pihak lain menjadi rusak.
3. Ketaatan
yang bersifat internalization, yaitu
jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan
itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
Dalam
realitasnya, berdasarkan konsep H.C. Kelmen tersebut, seseorang dapat menaati
suatu aturan hukum, hanya karena ketaatan salah satu jenis saja, misalnya hanya
taat karena compliance, dan tidak
karena identification atau internalization. Tetapi juga dapat
terjadi, seseorang manaati suatu aturan hukum, berdasarkan dua jenis atau
bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus. Selain karena aturan hukum itu memang cocok
dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya, juga sekaligus ia dapat
menghindari sanksi dan memburuknya hubungan baiknya dengan pihak lain.
Dengan
mengetahui adanya tiga jenis ketaatan terebut, maka tidak dapat sekedar
menggunakan ukuran ditaatinya suatu aturan hukum atau perundang-undangan
sebagai bukti efektifnya aturan tersebut, tetapi paling tidaknya juga harus ada
perbedaan kualitas efektivitasnya. Semakin banyak warga masyarakat yang menaati
suatu aturan hukum atau perundang-undangan hanya dengan ketaatan yang bersifat compliance atau identification saja, berarti kualitas efektivitasnya masih rendah,
sebaliknya semakin banyak yang ketaatannya internalization,
maka semakin tinggi kualitas efektivitas hukum aturan hukum atau
perundang-undangan itu.[13]
Dengan
mengetahui secara nyata cara bekerjanya pengadilan, aparatur penegak hukum,
serta hukum itu sendiri yang diperuntukan bagi manusia ditengah-tengah
masyarakat dalam menyelesaikan suatu masalah hukum yang timbul khususnya
masalah tindak pidana korupsi ini, maka disinilah peran dan kedudukan sosiologi
hukum dalam rangka penegakan hukum.
Maka
pada akhirnya penulis akan mengutip secara utuh apa yang pernah dituliskan oleh
Satjipto Rahardjo pada harian Kompas tanggal 18 Mei 2009 yaitu artikel yang
berjudul (Bangsa menuju “Bunuh Diri”), yang kemudian tulisan beliau diberbagai
media massa terangkum dalam satu buku dengan judul Penegakan Hukum Progresif,
hal ini dimaksudkan sebagai bahan renungan bagi kita semua betapa bahayanya
korupsi itu untuk saat ini dan untuk masa yang akan datang.
Apabila saya boleh menggunakan kehidupan
tanaman atau tumbuh-tumbuhan sebagai perbandingan, korupsi merupakan benalu
yang menempel pada tumbuh-tumbuhan dan menggerogotinya. Seperti benalu, korupsi
hidup dengan cara menghisap uang rakyat dan negara. Dalam keasyikannya
melakukan maksiat itu, tanpa disadari akhirnya ia membunuh sang tumbuh-tumbuhan
dan para koruptor itu pun dengan sendirinya ikut mati. Alatas mengatakan, korupsi
itu akhirnya membunuh masyarakat (destroyed the fabric of society).
Sesungguhnya tidak hanya korupsi dan
koruptor yang akhirnya menghancurkan negara, bangsa, dan masyarakat, tetapi
juga orang-orang yang tidak menjalankan tugas dan pekerjaannya dengan baik.
Pengadilan yang diharapkan menjadi pusat
keadilan berubah menjadi pasar yang memperdagangkan putusan pengadilan. Sampai
hari ini publik tidak henti-hentinya masih menyoroti terjadinya mafia pengadilan
di negeri ini. Ini tentu saja sangat memukul para hakim dan pegawai pengadilan
yang masih berusaha menepis praktik para sejawatnya yang sudah menjadi mafioso
itu. Pengadilan yang sudah mencoreng martabatnya itu sendiri sudah
beramai-ramai bersama-sama dengan para koruptor turut menjadi benalu bagi pohon
Indonesia.
Daftar pelaku-pelaku bunuh diri itu
dapat diperpanjang kehadirannya di berbagai bidang pekerjaan yang melakukan
pelayanan kepada publik. Ia ada di sektor pendidikan, transportasi, kesehatan, kepolisian,
politik (dewan-dewan perwakilan rakyat), dan masih banyak lagi. Intinya adalah
bahwa banyak pelaku yang seharusnya melayani publik tidak menjalankan tugasnya
dengan baik. Mereka itu juga turut memperparah keadaan dan mendorong terjadinya
bunuh diri tersebut.
Mereka lupa bahwa pada akhirnya mereka
akan turut terkubur juga bersama-sama dengan matinya “pohon Indonesia” yang
mereka ciderai dan gerogoti selama ini.
Bunuh diri bangsa ini ditampilkan
sebagai peringatan (reminder) terhadap kemungkinan yang serius dan gawat yang
akan menimpa seluruh bangsa. Proses menuju bunuh diri tersebut dapat dicegah
dan dihentikan apabila bangsa ini tidak dipenuhi dengan benalu-benalu,
melainkan dengan “daun” dan “akar”. Berseberangan dengan perilaku benalu yang
korup itu, maka daun dan akar justru menjadi pohon Indonesia hidup dan
berkembang dengan subur.
Apabila semua orang di negeri ini
melakukan tugas dan pekerjaannya dengan jujur, penuh dedikasi dan beramanah,
apakah itu guru, pengusaha, birokrat, wartawan, anggota DPR, gubernur, hakim,
dan ribuan lainnya, maka Insya Allah proses menuju bunuh diri itu dapat
dicegah.[14]
D. PENUTUP
Pernyataan
korupsi sebagai sebuah kebudayaan tetap menjadi sebuah pernyataan yang
melahirkan dua pandangan yang berbeda. Ada pihak yang mengatakan bahwa tindakan
korupsi merupakan sebuah budaya dan ada juga yang menentang hal ini. Namun
perbedaan pendapat ini didasarkan pada pemahaman kebudayaan yang berbeda-beda
pula. Korupsi bisa di lihat sebagai sebuah kebudayaan jika kebudayaan diartikan
sebagai sebuah tingkah laku yang terus diwariskan dari generasi ke generasi,
sebuah kebiasaan yang terus terpelihara dalam masyarakat baik secara pribadi maupun
kelompok yang besar seperti bangsa Indonesia. Namun secara filosofis, korupsi
di satu pihak bukanlah sebuah kebudayaan sebab korupsi sungguh bertentangan
dengan nilai dan unsur kebudayaan itu sendiri dan di pihak lain korupsi dapat
dikatakan sebuah kebudayaan jika meneliti motif dari korupsi itu sendiri. Nilai
kebahagiaan yang merupakan hal yang mendasar dari manusia itu sendiri merupakan
motif di balik tindakan korupsi itu.
Ketika
kita melihat realita mengenai korupsi yang semakin marak, penegakan hukumnya
yang lemah, serta para hakim hanya bersandar pada teks undang-undang tanpa
mengikutsertakan aktivitas berpikir yang membuat hukum hari ini jauh lebih
mudah. Sebab para hakim hanya melaksanakan panduan hukum yang sudah mapan
selama berpuluhan tahun, “tanpa berpikir”. Teks hukum itu sudah tinggal
dilaksanakan saja. Pekerjaan “berpikir” ini ditinggalkan jauh, sehingga hakim
tak ambil pusing untuk mencari relasi antara teks hukum dengan disiplin ilmu,
realitas sosial, dan budaya masyarakat. Begitulah Jasques Lacan menggambarkan
mengenai hukum yang hanya dijalankan sesuai dengan apa yang tertulis saja.
Begitu
pula kaitannya dengan penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi jika hakim
tidak menggunakan aktifitas berpikirnya dan hanya terpaku pada setumpuk
undang-undang yang dihadapkan kepadanya maka mustahil akan ditemui vonis hakim
yang memberikan rasa keadilan dalam masyarakat. Kita hanya akan menemukan vonis
hakim yang ringan-ringan saja terhadap para koruptor yang telah menjarah uang
rakyat dan uang negara. Terhadap vonis yang demikian maka mustahil akan membuat
para koruptor jera dan membuat orang takut atau berpikir ribuan kali untuk
korupsi.
Maka
sekali lagi penulis menyatakan, bahwa dalam rangka penegakan hukum terkait
masalah korupsi ini kita tidak bisa terlepas dari peran dan kedudukan sosiologi
hukum, dimana sosiologi hukum melihat hukum kearah fungsional, dimana ada
hubungan yang erat antara hukum dan kenyataan sosial yang hidup dan tetap
memerhatikan hukum yang dan bergerak.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Abdul Halim Barkatullah
& Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori,
dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartat,
ctk. Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012.
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (legisprudence),
ctk. Keempat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012.
Achmad Ali & Wiwie
Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris
Terhadap Hukum, ctk. Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012.
-------------------------------------------.
Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap
Pengadilan, ctk. Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
ctk. Pertama, PT. Alumni, Bandung, 2006
Afwan Khariri, Ahmad Charisudin,
Bisman Bahtiar, Luthfi J. Kurniawan & Nur Hadi, Menyingkap korupsi di Daerah, In-Trans, Malang, 2003
Ikhwan Fahrojih, Luthfi J. Kurniawan
& Tulus Wahyuono, Seri Pendidikan
Anti Korupsi Mengerti dan Melawan Korupsi, ctk. Pertama, Yappika, Jakarta,
2005
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, ctk. Kedua, Gramata Publishing,
Jakarta, 2012
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia,
ctk. Ketiga, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009
------------------------. Penegakan Hukum Progresif, PT. Kompas
Media Nusantara, Jakarta, 2010
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
[1]
Ikhwan Fahrojih, Luthfi J. Kurniawan & Tulus Wahyuono, Seri Pendidikan Anti Korupsi Mengerti dan Melawan Korupsi, ctk.
Pertama, Yappika, Jakarta, 2005, hal. 25.
[2]
Afwan Khariri, Ahmad Charisudin, Bisman Bahtiar, Luthfi J. Kurniawan & Nur
Hadi, Menyingkap korupsi di Daerah,
In-Trans, Malang, 2003, hal. 52
[3]
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak
Pidana Korupsi, ctk. Pertama, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal. 102
[4]
Achmad Ali & Wiwie Heryani, Menjelajahi
Kajian Empiris Terhadap Hukum, ctk. Pertama, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2012, hal. 3.
[5]
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Filsafat,
Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan
Bermartat, ctk. Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 360.
[6]
Ikhwan Fahrojih, Luthfi J. Kurniawan & Tulus Wahyuono, Seri Pendidikan……, op cit. hal. 11
[7]
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi
Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, ctk. Pertama, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2012, hal. 13.
[8]
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari
Hukum di Indonesia, ctk. Ketiga, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009,
hal. 233
[9]
Achmad Ali & Wiwie Heryani, Menjelajahi
Kajian,,,,,,,,,,,,,,,,. Op.cit, hal. 151
[10]
Ibid, hal. 152
[11]
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi
Undang-undang (legisprudence), ctk. Keempat, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2012, hal. 298
[12]
Ibid, hal 348
[13]
Ibid, hal. 349
[14]
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum
Progresif, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hal. 90
Gambling in the Casino 888: No deposit bonus casino - Air
BalasHapusGambling in the Casino 888: No deposit bonus casino. Gambling where can i buy jordan 18 white royal blue in the Casino great air jordan 18 retro men 888: No deposit air jordan 18 retro men blue super site bonus casino. air jordan 18 retro men red online free shipping Gambling in the Casino 888: No deposit bonus casino. Gambling in the Casino 888: No where to find air jordan 18 stockx