Satwa
liar dan langka yang dilindungi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
menurun jumlahnya dan ada beberapa spesies yang mendekati kepunahan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya perburuan, perdagangan, pemalakan
hutan, kebakaran hutan dan pembangunan pemukiman serta faktor-faktor lainnya. Jika
keadaan demikian terus dibiarkan satwa-satwa liar dan langka tersebut
benar-benar akan punah bila tidak ada tindakan nyata yang serius dari berbagai
pihak khususnya pemerintah dalam mencegah satwa liar dari ancaman kepunahan.
Jika
ditilik dari segi hukum maka berikut undang-undang, peraturan-peraturan
pemerintah, peraturan mentri dan konvensi internasional yang telah diratifikasi
yang mengatur mengenai keberadaan satwa diantaranya:
- Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
- PP 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
- PP 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Jenis Tumbuhan dan Satwa
- PP No.13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru
- SK Menhut no. 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran tumbuhan dan satwa liar
- Permenhut P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran tumbuhan dan satwa liar
- Permenhut P.52/Menhut-II/2006 tentang Peragaan tumbuhan dan satwa liar dilindungi
- Permenhut P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi
- CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang telah diratifikasi dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978
Menarik untuk disimak yaitu mengenai ketentuan
pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) yaitu pasal 40 ayat 1, 2, 3, 4,
dan 5, dalam ketentuan pidana yang terdapat dalam UU Nomor 5 tahun 1990 ini
pada ayat 5 nya membagi tindak pidana ke dalam 2 golongan yaitu tindak pidana dikatakan
sebagai kejahatan untuk ayat 1 dan 2 dan tindak pidana dikatakan sebagai pelanggaran
untuk ayat 3 dan 4 pada kesempatan ini saya akan lebih memfokuskan pembahasan
pada ayat 2 yakni tindak pidana yang dikatakan sebagai kejahatan yang
dikhususkan lagi terhadap ancaman pidana yang berkaitan dengan keberadaan satwa
yaitu pasal 40 ayat 2 yang unsur-unsur deliknya merupakan akibat hukum atas perbuatan
pidana yang terdapat pada pasal 21 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE.
Dalam
UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE pasal 40 ayat 2 menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Berikut uraian mengenai perbuatan mana saja
yang dikategorikan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara
dalam pasal 40 ayat 2 UU KSDAHE yang unsur-unsur deliknya merupakan
akibat hukum atas perbuatan pidana yang terdapat dalam pasal 21 ayat 2:
- Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup,
- menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati,
- mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia,
- memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia,
- mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan mengambil atau sarang satwa yang dilindungi.
Dari uraian ini maka setiap orang yang melakukan
kejahatan-kejahatan tersebut diatas akan dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah). Dari pola ancaman pidana yang diterapkan dalam pasal 40 ayat 2 ini
sesuai dengan sistem yang dianut dalam KUHP yaitu sistem maksimal dalam
merumuskan ancaman pidana, karena sudah dirancang oleh pembuat undang-undang
bahwa ancaman pidana penjara untuk kejahatan-kejahatan diatas maksimal 5 tahun
penjara maka tidaklah mungkin kita akan mandapatkan orang-orang yang melakukan
kejahatan yang dimaksud, diancam pidana penjara diatas lima tahun. Dengan
ancaman pidana penjara yang begitu rendah, maka pertanyaannya sekarang adalah
apakah mampu bangsa Indonesia menghindari satwa liar dari kepunahan yang masih
mengacu pada Undang-Undang yang telah usang ditambah lagi dengan aparatur negara
yang ogah-ogahan dalam menangani kejahatan terhadap satwa. Maka akhirnya saya
berkesimpulan sudah saatnya UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya diubah dengan menitikberatkan pada ancaman pidana yang lebih berat serta
lebih merinci setiap ancaman pidana berdasar pada Apendiks CITES demi
terjaganya kelestarian satwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar