Peninjauan
kembali (PK) / Herzeining merupakan upaya
hukum luar biasa yang dimiliki seorang terpidana atau ahli warisnya yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengajukannya ke Mahkamah Agung (MA) terkecuali
terhadap putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan
hukum, kemudian dalam prakter peradilan hak terpidana ini dirampas oleh Jaksa. Maka
pada kesempatan ini saya ingin mencoba membahas celah hukum mana yang dimanfaatkan Jaksa untuk dapat mengajukan PK ke MA.
Beranjak
dari keingintahuan tentang permasalahan ini saya mencoba membaca kembali mengenai pengaturan PK
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beserta berbagai referensi lainnya
yang berkaitan dengan PK. Dalam KUHAP PK diatur pada Bab XVIII yaitu sebagai upaya hukum
luar biasa bagian kedua tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketika kita bicara siapakah yang berhak
mengajukan PK maka pandangan akan kita arahkah pada pasal 263 ayat 1 dan 2,
berikut petikan lengkap ke dua pasal tersebut:
Ayat
1 : “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau
ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.
Ayat
2 : “Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a.
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan;
b.
apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan
telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c.
apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.”
Dari
dua pasal diatas jelas bahwa PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya untuk
diajukan ke MA dalam hal diketemukannya, bukti baru atau novum, berbagai putusan yang saling bertentangan, kekhilafan hakim secara nyata. Kemudian ayat 3 menyatakan atas dasar alasan
yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan PK apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti
akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Belakangan ayat 3 inilah yang
dijadikan dasar oleh Jaksa sebagai pintu masuk untuk mengajukan PK, walaupun tidak
disebutkan secara tegas bahwa Jaksa lah yang dimaksud dalam ayat 3 ini. Jika
kita telisik lebih jauh terhadap rumusan pasal 263 ini dalam penjelasan KUHAP
dinyatakan sudah jelas dan limitatif, artinya bersifat tertutup dan tidak bisa
ditafsirkan lagi dengan demikian tertutup sudah ruang bagi Jaksa untuk
mengajukan PK melalui celah yang terdapat dalam ayat 3 ini, karena penafsiran
terhadap suatu rumusan pasal haruslah secara utuh tidak boleh hanya
memperhatikan rumusan ayat 3 nya saja, tetapi harus secara menyeluruh termasuk
yang ada dalam penjelasannya. Jika hal ini terjadi maka tindakan yang diambil
Jaksa lebih merupakan tindakan yang melawan hukum dengan cara melakukan
penafsiran hukum diluar dari hukum tertulis itu sendiri.
Apabila dikemudian hari PK yang diajukan oleh Jaksa tetap
dipaksakan dan diterima oleh MA maka akan ada akibat hukum yang muncul dalam
proses peradilan diantaranya, secara langsung menghapuskan hak terpidana dan
ahli warisnya karena tidak mungkin ada PK diatas PK seperti yang diatur dalam
pasal 268 ayat 3 yang menyatakan PK hanya dapat dilakukan 1 kali, bahwa dalam
KUHAP tidak ada pengaturan mengenai batasan waktu kapan PK dapat diajukan hal
ini akan berakibat tidak adanya kepastian hukum atas diri terpidana sampai
diajukannya PK oleh Jaksa. Sampai disini sebaiknya kita kembalikan pada prinsip
dasar dari keberadaan hukum itu sendiri yaitu memberikan kepastian dan keadilan
hukum kepada setiap warga negara dengan memperlakukannya sama dihadapan hukum dan
bagi aparat penegakan hukum haruslah bertindak sesuai aturan hukum yang ada dan
bukan melakukan penafsiran hukum di luar hukum tertulis itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar