Rabu, 16 Mei 2012

Terampasnya Hak Terpidana untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Sebagai Suatu Upaya Hukum Luar Biasa


Peninjauan kembali (PK) / Herzeining merupakan upaya hukum luar biasa yang dimiliki seorang terpidana atau ahli warisnya yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengajukannya ke Mahkamah Agung (MA) terkecuali terhadap putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, kemudian dalam prakter peradilan hak terpidana ini dirampas oleh Jaksa. Maka pada kesempatan ini saya ingin mencoba membahas celah hukum mana yang dimanfaatkan Jaksa untuk dapat mengajukan PK ke MA.


Beranjak dari keingintahuan tentang permasalahan ini saya mencoba membaca kembali mengenai pengaturan PK yang terdapat dalam Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beserta berbagai referensi lainnya yang berkaitan dengan PK. Dalam KUHAP PK diatur pada Bab XVIII yaitu sebagai upaya hukum luar biasa bagian kedua tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketika kita bicara siapakah yang berhak mengajukan PK maka pandangan akan kita arahkah pada pasal 263 ayat 1 dan 2, berikut petikan lengkap ke dua pasal tersebut:
Ayat 1 : “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 
Ayat 2 : “Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; 
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.” 

Dari dua pasal diatas jelas bahwa PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya untuk diajukan ke MA dalam hal diketemukannya, bukti baru atau novum, berbagai putusan yang saling bertentangan, kekhilafan hakim secara nyata. Kemudian ayat 3 menyatakan atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan PK apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Belakangan ayat 3 inilah yang dijadikan dasar oleh Jaksa sebagai pintu masuk untuk mengajukan PK, walaupun tidak disebutkan secara tegas bahwa Jaksa lah yang dimaksud dalam ayat 3 ini. Jika kita telisik lebih jauh terhadap rumusan pasal 263 ini dalam penjelasan KUHAP dinyatakan sudah jelas dan limitatif, artinya bersifat tertutup dan tidak bisa ditafsirkan lagi dengan demikian tertutup sudah ruang bagi Jaksa untuk mengajukan PK melalui celah yang terdapat dalam ayat 3 ini, karena penafsiran terhadap suatu rumusan pasal haruslah secara utuh tidak boleh hanya memperhatikan rumusan ayat 3 nya saja, tetapi harus secara menyeluruh termasuk yang ada dalam penjelasannya. Jika hal ini terjadi maka tindakan yang diambil Jaksa lebih merupakan tindakan yang melawan hukum dengan cara melakukan penafsiran hukum diluar dari hukum tertulis itu sendiri.

Apabila dikemudian hari PK yang diajukan oleh Jaksa tetap dipaksakan dan diterima oleh MA maka akan ada akibat hukum yang muncul dalam proses peradilan diantaranya, secara langsung menghapuskan hak terpidana dan ahli warisnya karena tidak mungkin ada PK diatas PK seperti yang diatur dalam pasal 268 ayat 3 yang menyatakan PK hanya dapat dilakukan 1 kali, bahwa dalam KUHAP tidak ada pengaturan mengenai batasan waktu kapan PK dapat diajukan hal ini akan berakibat tidak adanya kepastian hukum atas diri terpidana sampai diajukannya PK oleh Jaksa. Sampai disini sebaiknya kita kembalikan pada prinsip dasar dari keberadaan hukum itu sendiri yaitu memberikan kepastian dan keadilan hukum kepada setiap warga negara dengan memperlakukannya sama dihadapan hukum dan bagi aparat penegakan hukum haruslah bertindak sesuai aturan hukum yang ada dan bukan melakukan penafsiran hukum di luar hukum tertulis itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar