Dari acara di atas menarik bagi saya untuk membahas
mengenai asas pembuktian terbalik atau yang dalam bahasa hukumnya lebih dikenal
dengan omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila
diterjemahkan secara bebas yaitu pembalikan beban pembuktian. Dalam pengertian
ini adalah suatu beban pembuktian dibebankan kepada salah satu pihak yaitu
terdakwa dimana terdakwa dibebankan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah atas suatu perbuatan pidana yang dituduhkan terhadap dirinya.
Kalaulah asas pembuktian terbalik ini yang
digunakan untuk menjerat para Anggota Banggar yang mempunyai transaksi keuangan
mencurigakan dari hasil laporan PPATK serta lonjakan harta kekayaan yang tidak
wajar maka terhadap mereka dapat dengan mudah dijadikan tersangka karena beban
pembuktian tidak dibebankan kepada Penuntut Umum tetapi dibebankan kepada
terdakwa itu sendiri. Sehingga pada saat di persidangan nanti Penuntut Umum
tinggal meminta penjelasan dari para tersangka tersebut atas asal usul harta
kekayaannya baik yang berasal dari gaji di DPR atau hasil usaha dengan
menunjukan dokumen-dokumen sebagai bukti usaha.
Pada tahap pengambilan keputusan nanti hakim hanya
membandingkan jumlah kekayaan awal sebelum menjabat, sedang dan atau setelah
menjabat jika jumlahnya tidak wajar serta terdakwa tidak mampu membuktikan
keabsahan hartanya maka hal itu patut diduga berasal dari hasil Tindak Pidana
Korupsi dan disita untuk dikembalikan kepada negara. Dengan demikian tidak akan
pernah kita dengar lagi adanya putusan hakim selain putusan penjara yaitu
mempidana terdakwa dengan ganti rugi yang begitu rendah atau subsider kurungan
3 bulan penjara saja hal ini tidaklah sebanding dengan nilai yang telah
dikorupsi.
Pembalikan beban pembuktian ini sendiri bukan tanpa
resiko karena akan ada masalah-masalah yuridis yang muncul jika diterapkan yang
diantaranya :
1. Hukum Acara Pidana yang digunakan dalam proses
kejahatan korupsi, khususnya dalam hal pembuktian adalah UU no 8 Tahun 1981,
Undang-undang tersebut tidak mengenal asas pembuktian terbalik.
2. Asas pembuktian terbalik ini melanggar Hak Asasi
Manusia apabila dikaitkan dengan asas Presumption Of Innocence atau asas
praduga tak bersalah.
3. Merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat (3)
huruf g Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 yang menyebutkan :“Dalam
penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk
tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku
bersalah.”
Dari masalah-masalah yuridis di atas, maka
diperlukan suatu terobosan hukum untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi yang
merupakan kejahatan extra ordinary crime sehingga penanggulangannya pun
diperlukan cara-cara yang luar biasa yang salah satunya adalah pembalikan beban
pembuktian sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi berjalan
efektif.
Datuk blognya keren.
BalasHapusPosting lagi yo.
Request masalah Kriminal dengan sumberdaya Alam hayati dunk misalnya perdaganangan illegal satwa liar dan bagian tubuhnya.
thanks infonya
By: Hamzah
heheh mokasih Zah, masih pemula kok, ntar yo utk request posting tentang masalah Kriminal dengan sumberdaya Alam hayati cari bahannyo dulu hehehe
BalasHapus